[REVIEW] Beauty and the Dogs, Geregetnya Dimanipulasi Aparat Negara

Tayang perdana pada Cannes Film Festival 2017, Beauty and the Dogs adalah salah satu film thriller yang wajib masuk daftar tontonmu. Berlatar waktu hanya semalam dalam hidup seorang perempuan penyintas pelecehan seksual di Tunisia, kamu bakal dibikin geram melihat bagaimana aparat dan masyarakat memperlakukannya.
Dihakimi sampai diintimidasi agar tak jadi melapor, balada sang perempuan direkam dengan teknik one-shot yang brilian. Mirisnya, film ini terinspirasi kisah nyata. Mau tahu seberapa seru film karya Kaouther Ben Hania itu? Simak review film Beauty and the Dogs berikut.
1. Premisnya pesta yang berubah jadi petaka
Premisnya sebenarnya tidak benar-benar baru dan kreatif karena sesederhana pesta yang berubah jadi petaka. Film dibuka dengan adegan Mariam (Mariam Al Ferjani). Sang lakon sedang bersiap untuk menghadiri pesta di asrama tempatnya tinggal. Sebenarnya melanggar norma yang berlaku, acara itu tetap diadakan karena dijamin tertutup dan hanya dihadiri orang-orang yang sudah dikenal, termasuk teman mutual para penghuni.
Di tengah pesta, Mariam tertarik pada seorang pemuda bernama Youssef (Ghanem Zrelli) yang membalas perasaannya. Mereka memutuskan untuk keluar dan berjalan menikmati suasana pantai yang letaknya tak jauh dari bangunan asrama. Keduanya kemudian hilang dari layar hingga tiba-tiba Mariam kembali dalam kondisi syok berat. Youssef menyusul dan berusaha menenangkannya. Ia meminta Mariam menjelaskan apa yang baru saja terjadi, tetapi itu bukan tugas mudah untuk sang lakon.
2. Satu setengah jam lamanya, kita diajak mengikuti perjuangan lakon mencari keadilan
Setelah mendengar pengakuan Mariam kalau ia baru saja diperkosa tiga anggota polisi yang memergoki mereka sedang berduaan, Youssef mengantarnya untuk ke rumah sakit dan melakukan visum. Namun, bukannya dapat pelayanan dan dukungan yang seharusnya, kita bisa melihat betapa tajamnya mata para petugas saat melihat pakaian yang dikenakan Mariam. Mirip dengan yang sering terjadi di negeri sendiri, "pingpong" tanggung jawab dimulai.
Satu petugas menyuruh Mariam dan Youssef menemui petugas lain. Petugas berikutnya mengoper mereka ke bagian lain dan seterusnya sampai keduanya harus ke kantor polisi untuk membuat laporan resmi. Ketidaknyamanan makin menjadi-jadi saat para aparat di kantor polisi justru melakukan intimidasi agar Mariam mengurungkan niatnya melapor. Di satu sisi, kita dibuat ragu dengan intensi Youssef. Bahkan, para oknum polisi itu mulai membuat Mariam mempertanyakan posisi Youssef?
3. Teknik one-shot bikin drama Mariam makin dramatis
Pengalaman "horor" Mariam sengaja dikemas Ben Hania pakai teknik one-shot dengan dramatisasi di beberapa bagian hingga terkesan teatrikal. Namun, itu tak mengurangi relevansi alias kedekatannya dengan realitas. Seperti kita tahu, budaya menyalahkan korban masih jadi batu penghalang buat para penyintas pelecehan seksual. Alih-alih melapor, menceritakannya ke orang terdekat saja berarti siap dihakimi.
Tak hanya terasa lekat dengan pengalaman penyintas kekerasan seksual, teknik gaslighting atau memanipulasi psikologis seseorang sudah sering dipakai aparat negara untuk membungkam kritik dan menghindar dari tanggung jawab. Pengalaman dimanipulasi secara psikologis oleh aparat negara tentu bukan pengalaman eksklusif 1 atau 2 orang. Yakin, deh, banyak orang pernah merasakannya. Ini yang bikin Beauty and the Dogs layak disebut karya sinematik yang menjalankan muruahnya sebagai penyebar ide, informasi, sekaligus sarana kritik.
Atas pengalaman sinematik dan kritik pedasnya, film Beauty and the Dogs layak dapat skor 4/5. Ini sejalan dengan pengguna beberapa situs pengulas film yang juga tak pelit memberi nilai tinggi buat film jebolan Cannes tersebut.