[REVIEW] Close, Ketika Maskulinitas Toksik Menginterupsi Persahabatan

Remi dan Leo adalah dua sahabat karib sejak kecil yang tinggal berdekatan serta bersekolah di tempat yang sama. Namun, ketika mereka memasuki fase pubertas, orang tak lagi melihat kedekatan mereka sebagai hal lumrah.
Beda dengan persahabatan antar sesama perempuan yang sarat afeksi, pertemanan antarlelaki mulai dirasuki nilai-nilai dan tuntutan maskulinitas. Seakan ada peraturan tak tertulis yang mengharamkan laki-laki menunjukkan afeksi dan membagikan rasa insekuritas pada rekan sesamanya.
Ini yang jadi topik diskusi utama dalam film Close karya Lukas Dhont. Film yang kemarin sempat dapat nominasi Oscar 2023 di kategori Film Fitur Internasional Terbaik. Berikut review film Close.
1. Dhont terinspirasi dari sebuah buku berjudul 'Deep Secrets' karya psikolog Niobe Way
Melalui wawancaranya dengan Film at Lincoln Center, sutradara muda Lukas Dhont mengaku terinspirasi meramu kisah Close dari sebuah buku berjudul Deep Secrets: Boys' Friendships and the Crisis of Connection tulisan Niobe Way. Dalam buku itu, Dhont menjelaskan, Way melakukan wawancara pada 150 anak laki-laki di Amerika Serikat.
Wawancara pertama ia lakukan saat anak-anak tersebut berusia 13 tahun, kemudian dilanjut ketika mereka mulai memasuki masa pubertas pada usia 17-18 tahun. Hasilnya, Way menemukan bahwa anak-anak tersebut mengubah perspektif mereka tentang persahabatan antarlelaki. Saat masih berusia 13 tahun atau praremaja, mereka tidak ragu menggunakan kata-kata yang manis dan penuh simpati untuk mendeskripsikan sahabat laki-laki mereka.
Namun, ketika masuk usia pubertas, mereka mulai ragu menggunakan kata-kata tersebut. Seakan mereka sudah sadar bahwa kata-kata manis tersebut hanya cocok untuk perempuan. Mereka khawatir afeksi tersebut akan membuat mereka dilabeli tidak maskulin.