Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Review Avatar Fire and Ash, Film Penutup Tahun yang Ciamik!.jpg
Avatar: Fire and Ash (dok. 20th Century Studios/Avatar: Fire and Ash)

Intinya sih...

  • Avatar: Fire and Ash (2025) menawarkan aksi, drama keluarga, dan tema coming-of-age yang kuat

  • Visual film ini kelas wahid dan membuat penonton merasa masuk ke dalam dunia Pandora

  • Babak ketiga film ini intens dan emosional, sambil membawa kritik ekologis yang relevan dengan kondisi hari ini

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjelang akhir tahun, Hollywood selalu punya satu kartu truf untuk memancing penonton kembali ke bioskop. Setelah Wicked: For Good dan Zootopia 2, kini giliran Avatar: Fire and Ash (2025) yang mengambil alih panggung. Dirilis mulai 17 Desember 2025 di bioskop Indonesia, film ketiga dari saga Avatar ini diserbu penikmat film yang sudah menunggu kelanjutan kisah Pandora sejak The Way of Water (2022).

Disutradarai kembali oleh James Cameron, Avatar: Fire and Ash menjanjikan eskalasi yang bukan main. Tak hanya CGI dan worldbuilding yang makin luas, tetapi juga cerita yang lebih gelap. Lantas, apakah film yang meraih nominasi Golden Globe 2026 ini mampu menyamai atau bahkan melampaui pendahulunya? Sebelum kamu memutuskan untuk duduk 3 jam di bioskop, simak dulu ulasan lengkapnya di bawah ini!

Sinopsis Avatar: Fire and Ash (2025)

Berlatar setahun setelah menetap bersama klan Metkayina, keluarga Jake Sully dan Neytiri masih bergulat dengan duka mendalam akibat kematian anak sulung mereka, Neteyam. Luka tersebut tak hanya membekas pada mereka, tetapi juga menghantui Lo'ak yang terus menyalahkan dirinya sendiri, serta Kiri yang mulai mempertanyakan iman dan hubungannya dengan Eywa.

Di tengah suasana duka, mereka bertemu dengan klan Na'vi yang jauh lebih agresif, Mangkwan atau Suku Abu, yang dipimpin oleh pemimpin matriarki bernama Varang. Situasi kian rumit ketika Kolonel Miles Quaritch kembali muncul dan menjalin aliansi dengan Varang. Target utama mereka: Jake Sully dan Miles "Spider" Socorro. Di sisi lain, RDA berencana membasmi seluruh Tulkun, memicu konflik besar yang membawa Pandora ke titik kehancuran baru.

Avatar: Fire and Ash
2025
4.5/5
Directed by James Cameron
ProducerJames Cameron, Jon Landau
WriterJames Cameron
Age RatingR13
GenreEpic, adventure, sci-fi, fantasy, coming-of-age
Duration197 Minutes
Release Date17 December
ThemeAction Epic
Production HouseLightstorm Entertainment
Where to WatchMovie Theater
CastSam Worthington, Zoe Saldaña, Sigourney Weaver, Stephen Lang, Kate Winslet, Oona Chaplin

Trailer Avatar: Fire and Ash (2025)

Review film Avatar: Fire and Ash

1. Tak cuma sajikan aksi, tapi drama keluarga dan coming-of-age yang kuat

Meski dibalut visual spektakuler dan aksi kolosal, inti cerita Fire and Ash sangat sederhana dan membumi. Film ini pada dasarnya adalah cerita keluarga. James Cameron menggali dinamika keluarga Sully setelah kehilangan Neteyam, menjadikan duka sebagai poros utama cerita. Jake dan Neytiri bergulat dengan luka yang belum sembuh, sementara Lo'ak mencoba "dewasa" lebih cepat untuk menggantikan posisi kakaknya.

Tema coming-of-age pun terasa kuat lewat persahabatan Lo'ak dengan Payakan, tulkun yang dikucilkan kaumnya. Di sisi lain, baik Kiri maupun Spider mencari tempatnya masing-masing di keluarga Sully. Kisah tentang anak yang merasa tersisih, dibebani ekspektasi, dan mencari jati diri ini terasa sangat relevan dengan kehidupan nyata. Konflik keluarga, rasa bersalah, dan pencarian makna hidup membuat Fire and Ash jauh lebih emosional dibanding film sebelumnya.

2. Visual kelas wahid, berasa masuk Pandora!

Soal visual jangan ditanya. Cameron kembali bermain di liga yang hampir tak punya lawan. Dengan teknologi motion capture bawah air, HFR 48 fps, dan sinematografi Russell Carpenter yang telah lama jadi tandemnya, Pandora ditampilkan dalam wujud lebih beragam. Ada adegan-adegan di mana makhluk digital, karakter motion-capture, dan aktor sungguhan muncul di set yang sama. Meski di-render secara digital, semuanya tampak sangat mulus.

Menonton Fire and Ash di format IMAX 3D benar-benar terasa seperti pindah ke tanah Pandora. Belum lagi musik megah garapan Simon Franglen, yang membuat pengalaman sinematiknya semakin utuh. Buat kamu yang sudah menonton, coba dengarkan "The Future and The Past" dan "The Light Always Return," deh. Berasa masuk kembali ke Pandora!

3. Third act yang intens dan emosional, khas James Cameron

Seperti dua film Avatar terdahulu, babak ketiga Fire and Ash menjadi puncak emosional. Cameron seolah merangkum perjalanan kariernya selama lebih dari empat dekade ke dalam satu klimaks besar. Elemen air dan kapal mengingatkan pada Titanic (1997), teknologi dan mesin perang bernuansa Terminator (1984), serta konflik manusia vs Na'vi yang menjadi ciri khas Avatar.

Hasilnya? Third act yang dramatis, intens, dan emosional. Bukan sekadar adu senjata, tetapi juga pertarungan batin, kehilangan, dan pengorbanan yang terasa menghantam ulu hati. Jika kamu memahami kepekaan Cameron dari dua film Avatar sebelumnya, kemungkinan besar kamu akan memahami kenapa Fire and Ash adalah film yang paling menggugah emosi dari ketiganya.

4. Bawakan kritik ekologis yang relevan dengan kondisi hari ini

Sejak film pertamanya, Avatar selalu memosisikan dirinya sebagai alegori tentang kerakusan manusia terhadap alam. Jika Avatar bicara soal kolonialisme dan The Way of Water mengkritik perburuan paus, Fire and Ash menyoroti fase paling berbahaya dari kehancuran ekologis: ketika kerusakan dianggap sebagai keniscayaan. Rencana RDA untuk membasmi seluruh Tulkun bukan lagi sekadar eksploitasi, melainkan pemusnahan sistematis demi kepentingan industri dan kekuasaan.

Kehadiran klan Mangkwan juga menjadi simbol kuat bagaimana lingkungan yang hancur melahirkan budaya yang keras dan penuh amarah. Lanskap vulkanik yang gersang, penuh abu dan api, terasa seperti peringatan visual tentang masa depan Pandora jika manusia terus dibiarkan berkuasa. Cameron dengan cermat memperlihatkan bahwa kehancuran alam tidak hanya mengubah ekosistem, tetapi juga membentuk cara hidup, nilai, dan bahkan moral penghuninya.

Lebih jauh, kritik ekologis dalam Fire and Ash tidak disampaikan secara hitam-putih. Film ini mempertanyakan apakah masih ada ruang untuk harmoni ketika luka sudah terlalu dalam. Pandora tidak lagi digambarkan sebagai Eden, melainkan dunia sekarat yang dipaksa bertahan. Di titik ini, Avatar: Fire and Ash terasa seperti refleksi suram dunia nyata, ketika isu lingkungan sering kali kalah oleh ambisi para penguasa.

5. Karakter antagonis baru yang menarik, meski tak sempurna

Salah satu kejutan terbesar film ini adalah kedalaman karakter Quaritch. Dengan akting Stephen Lang yang luar biasa, Quaritch tak lagi sekadar sosok militer yang "jahat," melainkan sisi gelap Jake sendiri. Hubungannya dengan Varang menambah lapisan baru pada karakter antagonis, bahkan menghadirkan romansa yang berani dan tak terduga.

Sayangnya, karakter Varang terasa kurang dieksplorasi. Meski karismatik dan mengancam, latar belakang serta motivasinya belum digali cukup dalam. Hal itu membuatnya terasa lebih mirip sebagai "pendamping" Quaritch ketimbang figur antagonis mandiri yang kuat.

6. Apakah Avatar: Fire and Ash recommended untuk ditonton?

Fire and Ash adalah film Avatar paling ambisius sejauh ini. Meski Cameron menggunakan formula yang serupa (set-up, konflik, klimaks, resolusi), kemegahan visual dan kekuatan emosionalnya membuat kisah klise jadi tak relevan. Ini bukanlah film yang menantang secara intelektual, tetapi sebuah pengalaman sinematik yang menghipnotis dan transenden.

Jika kamu menyukai dua film Avatar sebelumnya dan siap kembali "menutup logika" demi tenggelam dalam dunia Pandora, maka Fire and Ash adalah tontonan wajib. Segera tonton di bioskop terdekat dan rasakan sendiri perjalanan emosional keluarga Sully di layar lebar!

Editorial Team