[REVIEW] Evil Does Not Exist, Ketika Ecotourism Jadi Kedok Ketamakan

Tidak seperti beberapa filmnya terdahulu, karya sinematik terbaru Ryusuke Hamaguchi ini hanya berdurasi 106 menit. Evil Does Not Exist (2023) tak pula membahas hubungan antarmanusia belaka, ada perspektif ekologi yang ia sertakan dan jadi nyawa di sini.
Namun, tipikal film Jepang, sinema ini pakai format slow-burn yang bisa bikin orang minggat dalam 10 menit saking lambatnya. Namun, coba bersabar, karena Hamaguchi bakal membayar impas kesabaranmu.
Simak review film Evil Does Not Exist berikut ini sebelum kamu memutuskan menontonnya. Dijamin semakin gak sabar, deh!
1. Sepuluh menit pertama memang menguji kesabaran
Evil Does Not Exist cukup menguji ketabahan penontonnya. Alih-alih langsung memperkenalkan kita pada sang lakon, bapak satu anak bernama Takumi, kamera justru diletakkan di atas mobil yang berjalan lambat dan menghadap langit putih diselingi pepohonan. Adegan itu berlangsung sekitar 3 menit sampai akhirnya sosok bocah perempuan, lalu pria 40 tahunan yang merupakan ayahnya diperkenalkan.
Tak sampai di situ, Hamaguchi kembali mengujimu lewat kamera statis yang mengikuti kegiatan sang pria di depan rumahnya. Barulah pada menit ke-10, kita diajak mengenal situasi desa yang jadi latar film itu.
Lewat sosok Takumi pula detail-detail mulai diperlihatkan, termasuk mata air yang jadi sumber kehidupan desa itu sampai populasi rusa liar yang hidup berdampingan dengan penduduk. Beberapa penduduk desa pun ikut muncul, termasuk detail tentang Hana, putri Takumi yang muncul pertama di kamera sebelum siapapun.
2. Adegan dengar pendapatnya bakal memanjakanmu
Meski lambat, Hamaguchi sebenarnya tidak bertele-tele saat memperkenalkan konflik film ini. Sepertiga awal film sudah memuat hal yang bakal jadi perdebatan sengit di Evil Does Not Exist, yakni rencana pembangunan glamping di tengah desa itu. Penduduk diundang ke pertemuan publik oleh pihak kontraktor dan diskusi pun berlangsung.
Tipikal orang Jepang yang mengutamakan adat kesopanan, masing-masing pihak memang menahan diri dari rasa tak nyaman masing-masing. Namun, proses dengar pendapat ini tetap imersif karena kekuatan dialognya. Sempat meremehkan penduduk desa, pihak kontraktor justru kelabakan sendiri saat dicecar pertanyaan dan kritik.
Dari sini, fokus film pun beralih ke dua pegawai kontraktor yang dikirim ke desa tadi. Mereka dipasang Hamaguchi sebagai cerminan ketamakan dan kecerobohan manusia. Satu-satunya hal yang mereka banggakan adalah kemajuan ekonomi yang entah akan bertahan berapa lama bila unsur ekologi tidak disertakan dalam pertimbangan. Lagi-lagi ini cerminan betapa proyek pembangunan yang gencar dilakukan manusia sangat urban-sentris dan penduduk di pinggiran kotalah yang akan menanggung konsekuensinya.
3. Berakhir dengan pesan implisit tentang dampak keserakahan manusia
Tentu kontraktor tak segampang itu menyerah. Dengan strategi baru, mereka mulai mendekati Takumi. Itu karena ia salah satu penduduk desa yang menurut mereka punya pengaruh besar dan waktu luang. Pada fase ini dua pegawai tadi tampaknya berhasil meluluhkan hati Takumi sampai sebuah kejutan muncul.
Tak bisa disebut plot twist, tetapi itu salah satu klimaks yang disiapkan Hamaguchi untuk film Evil Does Not Exist. Meski agak absurd dan cenderung surealis, adegan jelang akhir film itu menguarkan pesan implisit yang cukup kuat. Mungkin itu pula yang membuat film ini dikategorikan eco-fable. Apakah glamping akan tetap dibangun dengan segala konsekuensi ekologis dan sosialnya? Hamaguchi memang tidak menjawabnya, tetapi ia berhasil bikin penonton satu suara dengan penduduk desa.
Nuansanya yang mundane (amat biasa) bakal mengingatkanmu pada Perfect Days (2023) yang mengekor keseharian bapak-bapak petugas kebersihan. Namun, bila menilik adegan dengar pendapatnya, ia punya kemiripan dengan sinema Rumania jebolan Cannes Film Festival, R.M.N (2022). Hamaguchi berhasil memadukan dua elemen yang bertolakbelakang, ketenangan dan kekhawatiran sekaligus. Itu sebuah upaya yang tak mudah, tetapi berhasil dieksekusinya dengan baik.
Durasi 1,5 jam adalah nilai plus buat film berlaju lambat macam Evil Does Not Exist. Buat penonton dengan kesabaran setipis tisu, faktor itu akan mengurangi potensi ngacir dari awal.