Evil Does Not Exist (dok. Toronto International Film Festival/Evil Does Not Exist)
Tentu kontraktor tak segampang itu menyerah. Dengan strategi baru, mereka mulai mendekati Takumi. Itu karena ia salah satu penduduk desa yang menurut mereka punya pengaruh besar dan waktu luang. Pada fase ini dua pegawai tadi tampaknya berhasil meluluhkan hati Takumi sampai sebuah kejutan muncul.
Tak bisa disebut plot twist, tetapi itu salah satu klimaks yang disiapkan Hamaguchi untuk film Evil Does Not Exist. Meski agak absurd dan cenderung surealis, adegan jelang akhir film itu menguarkan pesan implisit yang cukup kuat. Mungkin itu pula yang membuat film ini dikategorikan eco-fable. Apakah glamping akan tetap dibangun dengan segala konsekuensi ekologis dan sosialnya? Hamaguchi memang tidak menjawabnya, tetapi ia berhasil bikin penonton satu suara dengan penduduk desa.
Nuansanya yang mundane (amat biasa) bakal mengingatkanmu pada Perfect Days (2023) yang mengekor keseharian bapak-bapak petugas kebersihan. Namun, bila menilik adegan dengar pendapatnya, ia punya kemiripan dengan sinema Rumania jebolan Cannes Film Festival, R.M.N (2022). Hamaguchi berhasil memadukan dua elemen yang bertolakbelakang, ketenangan dan kekhawatiran sekaligus. Itu sebuah upaya yang tak mudah, tetapi berhasil dieksekusinya dengan baik.
Durasi 1,5 jam adalah nilai plus buat film berlaju lambat macam Evil Does Not Exist. Buat penonton dengan kesabaran setipis tisu, faktor itu akan mengurangi potensi ngacir dari awal.