Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Review Materialist, Film Anti-Kapitalisme Berkedok Rom-Com.jpg
Materialists (dok. A24/Materialists)

Apa jadinya jika hubungan romantis ditentukan bukan oleh rasa cinta, tapi rekening bank? Pergulatan ini dibawakan dengan apik oleh Celine Song dalam Materialists (2025), film keduanya setelah sukses lewat Past Lives (2023). Jika Past Lives memukau lewat kisah cinta yang melintasi waktu dan jarak, maka Materialists hadir dengan wajah rom-com yang mengandung kritik pedas terhadap kapitalisme.

Dibintangi Dakota Johnson sebagai Lucy, matchmaker alias mak comblang yang menjual mimpi cinta sejati; Pedro Pascal sebagai Harry, pria kaya raya yang penuh pesona dan menawarkan stabilitas; serta Chris Evans sebagai John, mantan kekasih Lucy yang masih struggle tapi hadir dengan cinta rapuh dan tulus, film ini tampak seperti cinta segitiga klasik. Namun di tangan Song, narasi sederhana itu menjadi lebih kompleks.

Lalu, apakah film ini benar-benar menawarkan refleksi tajam soal uang, cinta, dan pilihan-pilihan hidup di era yang segalanya sudah dikapitalisasi? Seberapa bagus film ini untuk ditonton? Yuk, simak ulasan lengkapnya di bawah ini!

1. Bawa isu kesenjangan ekonomi dalam kisah cinta segitiga

Materialists(dok. A24/Materialists)

Sekilas, Lucy tampak seperti tokoh utama rom-com pada umumnya: perempuan cantik, stylish, cerdas, dan punya pekerjaan unik. Namun, pekerjaannya sebagai konsultan kencan di Adore adalah sorotan utama. Ia menjual "kencan romantis" sebagai komoditas, di mana ia juga memastikan klien-kliennya menemukan pasangan idea, lengkap dengan kriteria absurd yang sering kali mereka minta.

Konflik memuncak saat Lucy sendiri terjebak dalam kisah cinta segitiga. Harry menawarkan kepastian finansial dan status sosial, yang oleh Lucy disebut sebagai "unicorn" saking langkanya: pria tampan, mapan, dan penuh perhatian. Sementara John, mantan kekasih Lucy, hadir dengan kondisi yang kontras: seorang pelayan katering yang miskin dan rapuh, tapi membawa cinta yang murni.

Song menolak memberikan jawaban sederhana. Tidak ada penjahat, tidak ada pahlawan. Harry bukan kapitalis dingin, dan John bukan si miskin yang baik. Semua pilihan Lucy valid dan penuh risiko. Inilah kekuatan Materialists. Film ini seolah mengajak kita berpikir, apakah hubungan romantis itu masih soal cinta, atau sudah jadi investasi dengan perhitungan "return of investment"?

2. Soroti fakta menohok dari kencan di abad ke-21

Materialists (dok. A24/Materialists)

Salah satu kritik sosial paling tajam hadir dari tempat kerja Lucy sendiri, Adore, yang menjual janji manis: "Kamu akan menikahi cinta sejatimu." Di sini, kencan diperlakukan layaknya pasar swalayan. Janji itu dikemas dalam bentuk algoritma, wawancara kaku, dan proses seleksi yang tak jauh berbeda dari aplikasi kencan modern.

Ada montase lucu sekaligus getir ketika Lucy mewawancarai klien-kliennya dengan permintaan mustahil. Mulai dari calon pasangan harus kaya, cerdas, berbakat, spiritual tapi juga rendah hati, bla bla bla. Semua ini ditampilkan sebagai komedi satire, namun sebenarnya menelanjangi realitas pahit bahwa pencarian cinta telah direduksi menjadi pasar.

Dialog tajam Song pun kerap menyentil, seperti ketika Lucy berkata pada seorang kliennya: "Kamu nggak jelek, kamu cuma nggak punya uang." Kalimat itu, meski terdengar lucu, adalah pukulan telak pada bagaimana kapitalisme menciptakan hierarki, bahkan dalam urusan hati. Kita tak lagi mencari pasangan karena cinta, tapi karena ROI. Apakah hubungan ini sepadan dengan waktu, energi, dan… uang saya?

Lewat satire ini, Materialists sukses membongkar wajah gelap kencan modern yang dipenuhi ekspektasi tak manusiawi, standar yang tidak realistis, dan cara sistem pasar yang mengubah cinta menjadi transaksi. Ya, Song sedang menyentil kapitalisme lewat filmnya.

3. Didukung naskah kuat dan sinematografi yang memanjakan mata

Materialists (dok. A24/Materialists)

Seperti Past Lives, kekuatan utama Materialists ada dalam penulisan naskahnya. Song piawai meracik dialog yang cerdas, tajam, tapi tetap mengalir natural. Karakter utamanya berantakan, kompleks, kadang sinis, tapi selalu terasa manusiawi. Tak heran Song mendapat nominasi Oscar untuk Skenario Orisinal pada tahun 2024 dan di sini ia kembali membuktikan kelasnya.

Film dibuka dengan prolog tak terduga: gambaran sinematis tentang pemburu-pengumpul ribuan tahun lalu di dataran yang kelak menjadi Amerika. Sekilas terasa tak relevan, namun sebenarnya ia meletakkan fondasi untuk plot. Sejak zaman prasejarah, cinta dan pertemuan pasangan selalu terkait dengan ekonomi. Dulu lewat barter, kini lewat kontrak sosial bernama pernikahan.

Sepanjang film, kita akan merasakan eyegasm. New York digambarkan glamor sekaligus dingin, penuh pesta elegan dan apartemen mewah, tapi juga memantulkan isolasi batin tiap individunya. Akting para bintangnya pun tah kalah kuat dari naskah dan sinematografi.

Dakota Johnson tampil apik sebagai Lucy: ia jago membaca orang lain, tapi rapuh saat harus membaca dirinya sendiri. Pedro Pascal memberikan pesona maskulin yang penuh daya tarik. Chris Evans tampil mengejutkan sebagai sad boy yang jauh dari citra Captain America. Bahkan, cameo Louisa Jacobson sebagai pengantin baru sukses meninggalkan kesan mendalam.

4. Apakah film Materialists recommended untuk ditonton?

Materialists (dok. A24/Materialists)

Jawabannya iya, tapi dengan catatan bahwa Materialists tidak seperti film rom-com ringan tahun 2000-an. Song memang membungkus kisah ini dengan visual yang indah dan aktor yang menawan. Namun di baliknya, Materialists adalah pembedahan dingin tentang bagaimana kapitalisme mengatur segala hal, bahkan keputusan paling intim kita: dengan siapa kita jatuh cinta, dan kenapa.

Film ini mungkin terasa "kurang pedas" bagimu yang menginginkan realitas pahit kehidupan kelas bawah, karena kondisi John lebih mirip seperti salah ambil keputusan ketimbang survival yang sesungguhnya. Namun hal itu bukan kelemahan, melainkan pilihan naratif. Song ingin menunjukkan bahwa di level paling "glamor" sekalipun, kapitalisme tetap menyusup dan merusak ruang privat kita.

Pada akhirnya, Materialists bukanlah kisah tentang memilih cinta atau uang, melainkan tentang bagaimana kita menegosiasikan keduanya di tengah dunia kapitalis. Dan di balik satirenya, film ini menyelipkan harapan bahwa cinta dapat bertahan bukan karena ia sesuai logika pasar, tapi justru karena ia menentangnya. Jika nanti kita menemukan cinta sejati, apakah kita masih mau melakukan hitung-hitungan materialis?

Editorial Team