Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Review The Long Walk, Adaptasi Terbaik Stephen King Dekade Ini.jpg
The Long Walk (dok. Lionsgate/The Long Walk)

Tahun 2025 jadi momen besar bagi karya Stephen King di layar lebar. Setelah The Monkey yang diadaptasi Oz Perkins dan The Life of Chuck garapan Mike Flanagan menuai respons beragam, kini giliran The Long Walk yang datang dengan gebrakan berbeda. Disutradarai Francis Lawrence (I Am Legend, Hunger Games), film ini menjanjikan ketegangan distopia yang brutal, tapi di sisi lain filosofis.

Bukan sekadar cerita tentang kompetisi jalan tanpa garis akhir, The Long Walk hadir sebagai kisah menyayat hati tentang harapan, persahabatan, dan perjuangan hidup. Film ini membuat penontonnya terdiam, bahkan berlinang air mata usai menyaksikan perjalanan penuh penderitaan para pesertanya. Apakah film ini layak ditonton? Mari simak ulasan lengkapnya di bawah ini!

1. Sukses bawakan kisah King, mirip dengan adaptasi film-film lamanya

The Long Walk (dok. Lionsgate/The Long Walk)

The Long Walk membuktikan bahwa karya Stephen King tetap bisa diadaptasi dengan penuh rasa hormat terhadap materi aslinya. Film ini membawa kembali atmosfer kelam, getir, namun manusiawi yang pernah kita lihat dalam adaptasi klasik seperti The Shawshank Redemption (1994). Bedanya, Lawrence memilih pendekatan minimalis: hanya ada jalan panjang, peserta yang berjalan, dan konsekuensi brutal yang menanti.

Alih-alih membangun dunia distopia yang megah dengan banyak penjelasan ini-itu, The Long Walk memilih untuk tetap dekat dengan karakter-karakternya. Percakapan di antara para peserta tentang keluarga, masa depan, dan impian yang tidak akan pernah mereka raih justru jadi jantung cerita. Momen-momen kecil seperti bercanda dan menyemangati satu sama lain membuat kita ikut merasa emosional.

Lawrence menangkap esensi King, bahwa horor terbesar bukanlah entitas menyeramkan atau jumpscare melainkan kenyataan pahit yang perlahan merenggut harapan manusia. Dengan itu, The Long Walk bukan hanya sukses sebagai film horor-thriller, tetapi juga sebagai drama eksistensial yang menyoroti rapuhnya hidup manusia dan kerasnya sistem di era post-modern.

2. Kritik terhadap keditaktoran sayap kanan dengan latar distopia

The Long Walk (dok. Lionsgate/The Long Walk)

Lebih dari sekadar survival thriller, film ini adalah alegori sosial yang menohok. Latar distopia tak hanya menciptakan ketegangan, melainkan kritik pedas terhadap kediktatoran militer yang mengendalikan masyarakat dengan cara tidak manusiawi: menjadikan penderitaan anak muda sebagai tontonan. Di sini, King seakan ingin memperlihatkan bagaimana generasi baru dimanfaatkan, dieksploitasi, bahkan dibuang demi mempertahankan ilusi stabilitas kekuasaan.

Menariknya, Lawrence memilih untuk tidak menampilkan kerumunan besar atau tontonan spektakuler ala Hunger Games (2012). Sebaliknya, jalan panjang itu sepi, hanya sesekali menampilkan wajah-wajah warga yang menatap dengan ngeri atau jijik. Kehampaan visual ini bisa dibaca sebagai tanda bahwa publik sudah muak dengan sistem tersebut. Tidak ada glorifikasi, tidak ada sorak sorai.

Pesan ini menjadi semakin kuat karena hadir di tengah suasana negara yang totaliter. Dalam sunyi, setiap langkah peserta terasa lebih berat, seolah-olah mereka berjalan sambil menanggung dosa rezim yang memperalat mereka. Kritik sosial yang tersirat ini menjadikan The Long Walk jauh lebih relevan dan mengena dibanding kebanyakan film distopia modern.

3. Penampilan memukau dari para aktornya

The Long Walk (dok. Lionsgate/The Long Walk)

Aktor-aktor muda yang memimpin film ini tampil luar biasa. Cooper Hoffman sebagai Raymond Garraty membuat penonton merasa dekat dengan dilema batinnya. Sementara David Jonsson sebagai Peter McVries tampil penuh karisma dan menjadi sosok sahabat yang selalu optimis. Chemistry keduanya membuat ikatan persahabatan antara Ray dan Pete terasa nyata sekaligus memilukan.

Para pemeran pendukung juga tidak kalah kuat, memberikan warna dan dinamika dalam perjalanan +500 km yang terasa nyaris tak berujung. Mereka bukan sekadar figuran yang menunggu giliran mati, melainkan manusia dengan cerita, harapan, dan ketakutan masing-masing. Karakter-karakter inilah yang membuat film terasa lebih personal, karena setiap kematian bukan hanya angka, melainkan kehilangan yang benar-benar terasa.

Dan tentu saja, ada Mark Hamill yang memerankan Sang Mayor. Ia tampil mengintimidasi, dingin, dan penuh kuasa, meski sesekali nyentrik dibandingkan para peserta yang lebih "membumi." Kehadirannya membuat film ini memiliki figur antagonis yang karismatik sekaligus menjijikkan. Hamill berhasil menghidupkan sosok penguasa yang tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga menikmati sisi kejam dari permainan ini.

4. Apakah The Long Walk Recommended untuk ditonton?

The Long Walk (dok. Lionsgate/The Long Walk)

Sangat recommended. Namun ingat, The Long Walk bukanlah tontonan ringan. Film ini brutal, menyayat hati, dan sarat dengan adegan yang bisa menguras emosi. Ini bukanlah film yang menghadirkan hiburan escapist, melainkan refleksi keras tentang hidup, kematian, dan sistem yang menindas. Maka dari itu, kamu harus siap secara mental sebelum menontonnya.

Lalu, mengapa harus nonton film ini? Satu hal, yakni kedalaman filosofis yang jarang ditemukan dalam film distopia modern. Bukan hanya tentang siapa yang bertahan hingga akhir, tetapi juga bagaimana manusia merespons penderitaan, membangun ikatan, dan mempertahankan harapan di tengah situasi mustahil. Tak lupa, pesan tentang solidaritas kelas dan keberanian dalam menghadapi takdir terasa sangat relevan dengan kondisi hari ini.

Tidak berlebihan jika menyebut The Long Walk sebagai salah satu adaptasi King terbaik dalam satu dekade ini. Dengan penyutradaraan solid, penampilan apik para aktor, dan pesan sosial yang kuat, film ini bukan hanya sebuah hiburan melainkan karya seni yang layak dipelajari. Untuk para pecinta Stephen King maupun penggemar film distopia, The Long Walk wajib masuk daftar tontonan.

Editorial Team