[REVIEW] Through the Olive Trees, Kisah Cinta di Tengah Gempa Iran

Nyaris tak ada hal positif saat kita bicara gempa bumi. Semua akan merujuk pada kehancuran, hilangnya nyawa, dan berbagai risiko lain yang terbayang kengeriannya. Sontak saat mengambil latar gempa bumi, film-film yang tercipta pun cenderung mengharu biru. Sebut saja The Impossible (2012) yang bahas gempa dan tsunami Samudera Hindia 2004, hingga serial soal gempa Fukushima 2011, The Days (2023).
Jauh sebelum itu, Abbas Kiarostami pernah merilis dua film berlatar gempa Iran 1990. Ketimbang fokus pada kerusakan dan kesedihan, sang sutradara memilih mengambil sudut pandang para penyintasnya yang optimis. Dua film itu berjudul And Life Goes On (1992) dan Through the Olive Trees (1994) yang sebenarnya saling berkaitan, tetapi tak wajib ditonton berurutan.
Film kedua, Through the Olive Trees , sedang tayang di MUBI dan KlikFilm, layak disebut berlian tersembunyi. Apa yang membuatnya menarik? Review film Through the Olive Trees ini bisa jadi penyemangatmu menonton film ini, lho.
1. Sebuah kisah cinta di tengah kekacauan akibat bencana alam
Through the Olive Trees dibuka dengan adegan seorang sutradara bersama asistennya sedang melakukan audisi untuk film yang akan mereka garap di sebuah desa. Semua terlihat normal sampai sang asisten melakukan perjalananan menuju set. Seperti film-film sebelumnya, Kiarostami sering meramu ceritanya lewat percakapan dan pemandangan dari dalam mobil.
Di situlah, kondisi desa yang terdampak gempa mulai terlihat. Penduduk tinggal di tenda-tenda, sementara sebagian lainnya mulai membangun kembali rumah mereka dari reruntuhan tersisa. Bersamaan dengan itu, sosok bernama Hossein diperkenalkan. Ia adalah pemuda yang sudah terpilih sebelumnya untuk jadi protagonis utama dalam proyek film sang sutradara.
Namun, sesampainya di set, sebuah masalah terjadi, sang aktris, Tahereh, tak sudi bertegur sapa dengan Hossein. Ini membuat proses syuting terpaksa dihentikan dan sang sutradara mencoba mencari tahu akar masalahnya dari perspektif Hossein. Sebuah kisah cinta tak berbalas pun terkuak lewat pengakuan si pemuda.
2. Dikemas minimalis, realis, dan yang paling penting, tak menggurui
Balada Hossein memperjuangkan cintanya pada Tahereh memang jadi titik berat di film ini. Ia digambarkan cukup vokal menyuarakan perasaan dan keinginannya, bahkan mampu mencuri waktu di tengah dan setelah syuting untuk melamar Tahereh dan mengajaknya diskusi soal masa depan. Dialog yang lebih mirip monolog itu manis, kocak, tetapi juga puitis dan lumayan filosofis.
Menariknya, semua dikemas dengan amat natural. Tak ada upaya untuk menggurui apalagi menciptakan sosok malaikat dari para protagonisnya. Mereka eksis dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Minimalis dan realis, sebuah hal yang menyegarkan untuk ditonton di tengah gempuran film-film maksimalis dan bombastis.
3. Perspektif yang dipakai unik, seperti nonton film dalam film
Selain elemen minimalisnya yang kuat, perspektif yang dipakai Kiarostami pun unik. Ini membuatmu seperti sedang menonton film dalam film atau film tentang pembuatan film. Through the Olive Trees memberikanmu beberapa pengalaman berbeda sekaligus. Ia bisa dikategorikan film romantis, tetapi tak aneh pula bila dimasukkan dalam genre dokudrama atau dokufiksi.
Sebab, dalam filmnya, Kiarostami menggunakan jasa aktor-aktor amatir. Satu-satunya aktor profesional dalam film ini adalah Mohamad Ali Keshavarz yang memerankan sang sutradara. Fakta lain yang bikin Through the Olive Trees menarik adalah statusnya sebagai bagian dari Trilogi Koker, yakni tiga film yang dibuat Kiarostami dengan latar desa Koker.
Kiarostami pertama kali membuat film di desa ini dengan judul Where's the Friend's House? (1987). Ia kemudian menyambangi desa di Iran Utara itu 3 tahun kemudian saat terjadi gempa dan hendak memastikan aktor cilik yang tampil di filmnya saat itu baik-baik saja. Perjalanan itu kemudian menginspirasi film And Life Goes On (1992) dan Through the Olive Trees (1994).
Jika ada kesempatan dan waktu, tak ada salahnya mencoba nonton mahakarya sang mendiang sutradara. Dijamin dua jam berhargamu tak terbuang sia-sia.