Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Taylor Swift
Taylor Swift (instagram.com/taylorswift)

Intinya sih...

  • Kesuksesan Taylor Swift buktikan betapa besarnya daya beli perempuanDalam survei yang dirilis Statista pada 2023, demografi penggemar Taylor Swift di Amerika Serikat didominasi perempuan, generasi milenial, dan beretnis kulit putih. Majalah TIME menarik korelasi kesuksesan Taylor Swift dengan daya beli perempuan yang kuat.

  • Perempuan kini menentukan selera pasarKecenderungan-kecenderungan tadi membentuk selera pasar baru. Konten dan produk dibuat dengan mempertimbangkan narasi perempuan. Taylor Swift adalah contoh nyata dari pergeseran ini.

  • Audiens perempuan lebih awet dan loyal?Bicara Taylor Swift dan penggemar perempuannya membuat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Taylor Swift selalu mencuri perhatian tiap kali mengumumkan materi baru. Suka tak suka, basis penggemarnya yang amat besar itu sulit untuk diabaikan. Saking besar skalanya, pengamat sampai punya istilah khusus untuk itu, Swiftonomic, yakni perputaran roda ekonomi yang berpusat pada Taylor Swift dan karya-karyanya.

Konser The Eras Tour yang berlangsung sepanjang 2023—2024 adalah salah satu contoh konkret dari Swiftonomics yang dimaksud. Gak hanya berkutat pada jual-beli tiket, tetapi juga penjualan tiket pesawat, akomodasi, hingga pernak-pernik. Bahkan Singapura yang jadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang didatangi Swift untuk konser 6 hari dianggap memonopoli penyelenggaraan konser akbar itu untuk kepentingan nasional mereka.

Taylor Swift memang berbakat dan efeknya tiap meluncurkan karya gak pernah bercanda, tetapi perilaku basis penggemarnya juga tak kalah menarik. Didominasi perempuan, wawasan ekonomi yang bisa kita petik dari fenomena ini?

1. Kesuksesan Taylor Swift buktikan betapa besarnya daya beli perempuan

Taylor Swift dan koleksi albumnya (instagram.com/taylorswift)

Dalam survei yang dirilis Statista pada 2023, demografi penggemar Taylor Swift di Amerika Serikat didominasi perempuan, generasi milenial, dan beretnis kulit putih. Dari kacamata ekonomi, majalah TIME menarik korelasi kesuksesan Taylor Swift dengan daya beli perempuan yang kuat, setidaknya untuk kasus Amerika Serikat. Menurut liputan mereka, ini ada kaitannya dengan meningkatnya kemampuan finansial perempuan di negeri itu yang didorong emansipasi dan perbaikan pasar kerja.

Hal lain yang pemicu naiknya daya beli adalah perubahan gaya hidup perempuan modern. Kini, perempuan jadi punya surplus penghasilan karena tak sedikit yang masih atau memilih tinggal sendiri (tidak menikah dan punya anak). Sebagian juga memutuskan untuk tinggal bersama orangtua (terutama sejak pandemi COVID-19), sehingga secara tak langsung mengurangi beban finansial mereka.

2. Perempuan kini menentukan selera pasar

Sabrina Carpenter (instagram.com/sabrinacarpenter)

Kecenderungan-kecenderungan tadi secara perlahan pun membentuk selera pasar baru. Kalau dahulu, konten dan produk dibuat dengan mempertimbangkan narasi pria, sekarang tak sedikit yang melirik sudut pandang perempuan.

Taylor Swift adalah contoh nyata dari pergeseran ini. Lewat lagu-lagunya yang pakai perspektif perempuan, Swift berhasil merebut perhatian audiens dari gendernya sendiri. Bahkan opini negatif soal Swift yang banyak muncul dari pria tak mempengaruhi popularitas Swift sedikit pun.

Taktik itu pun diadopsi banyak penyanyi pop perempuan lain, seperti Sabrina Carpenter, Tate McRae, Charli XCX, Olivia Rodrigo, Billie Eilish, Gracie Abrams, dan Ethel Cain. Meski punya warna musik berbeda, mereka dimasukkan dalam kategori yang sama: Pop Girlies. Sebuah kategori yang merujuk pada penyanyi pop dengan basis penggemar perempuan besar dan biasanya tercermin dari karya-karya mereka yang menguarkan energi feminin dan bernapaskan feminisme.

Menariknya, pop girlies ini pula yang kini mendominasi pasar musik dunia. Terlihat dari popularitas album, performa karya mereka di tangga lagu global, sampai penjualan tiket konser.

3. Audiens perempuan lebih awet dan loyal?

Michelle Williams, Beyonce, dan Kelly Rowland (instagram.com/beyonce)

Bicara Taylor Swift dan penggemar perempuannya mau tak mau membuatmu menilik ke masa lalu. Dahulu, kebanyakan artis perempuan diset untuk menarget audiens pria. Tengok saja Marylin Monroe, Brigitte Bardot, Pamela Anderson, Brooke Shields, dan Megan Fox yang “dipasarkan” dengan pertimbangan-pertimbangan male gaze.

Saat itu, nilai-nilai progresif, termasuk feminisme, belum meluas dan pada akhirnya mengorbankan seniman-seniman perempuan. Mereka terlupakan begitu saja setelah melewati masa emas dan harus bekerja ekstra untuk memperbarui serta mengubah citra yang terlanjur tersemat pada mereka.

Siklus ini tak perlu dikhawatirkan Taylor Swift dan artis-artis perempuan masa kini yang gak ambil pusing dengan male gaze dan opini audiens pria secara umum. Fokus pada penggemar perempuan mereka, Adele cukup jadi dirinya sendiri untuk menjual habis tiket konser dan albumnya. Begitu pula Beyonce yang meski sudah kepala empat tak pernah ditinggal penggemar setianya. Ada pola menarik di sini, yakni kecenderungan penggemar perempuan untuk loyal dan membentuk komunitas yang suportif. Ini sekaligus menyangkal kalau jargon “women support women” itu mitos belaka. Faktanya, banyak musisi perempuan yang kariernya awet karena sejak awal memasarkan dirinya sebagai teman untuk pendengar perempuan mereka.

Daya beli perempuan kini gak bisa dianggap enteng apalagi diabaikan. Terbukti, mereka yang kini mendominasi pasar dan menentukan arah narasi yang beredar. Gak terbatas di ranah musik, sudah saatnya unit-unit bisnis lainnya pun mulai mempertimbangkan kebutuhan perempuan untuk mendesain produk.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team