The Brutalist (dok. Universal Pictures/The Brutalist)
Penggunaan AI memang masih jadi perdebatan sengit. Khususnya buat industri kreatif, kecerdasan buatan punya cap buruk, terutama mencuri pekerjaan-pekerjaan strategis yang selama ini dikendalikan penuh oleh manusia. Misalnya untuk dialog bahasa asing, film biasanya butuh seorang pelatih dialog yang memandu para aktor untuk mencapai aksen yang autentik.
Bukannya tanpa pelatih dialog, The Brutalist nyatanya melibatkan Tanera Marshall, pelatih dialog dan ahli aksen yang pernah terlibat dalam serial The Bear (2022) dan film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes (2023). Corbet sang sutradara menyatakan bahwa Respeecher hanya dipakai dalam film untuk menyempurnakan beberapa pengucapan huruf vokal.
Cukup disayangkan sebenarnya. Mengingat tak sedikit film yang berhasil menyajikan keautentikan aksen bahasa tanpa AI. Ambil contoh Pachinko. Serial ini menggunakan dua bahasa yang digunakan silih berganti, Korea dan Jepang. Meski menurut para penutur asli, kebanyakan aksen mereka tidak seberapa sempurna dan tidak mencerminkan aksen daerah yang seharusnya, kreator film memilih untuk tidak melakukan penyempurnaan berlebih apalagi dengan AI.
Bahasa Rusia dan Armenia juga jadi bagian penting dalam dialog film Anora. Untuk mengurangi inakurasi dan memperkuat keautentikannya, Sean Baker dan Emily Fleischer selaku casting director memilih merekrut aktor dari negara yang bersangkutan. Hal serupa bisa kamu temukan pula dalam Anatomy of a Fall karya Justine Triet. Meski hampir semua cast dan kru berasal dari Prancis, Justine Triet memilih aktris Jerman, Sandra Hüller untuk memerankan sang protagonis utama. Ini sesuai dengan latar belakang karakter Sandra yang diperankan Hüller.
AI memang satu disrupsi teknologi yang susah untuk dihentikan. Terlepas dari pro kontranya, kita bakal menemukan mereka di berbagai aspek kehidupan. Namun, tentu tak bisa dimungkiri, mereka mencerabut sisi autentik sebuah karya ketika dinormalisasi dalam industri kretif.