WUNI Studio (dok. Pribadi/WUNI Studio)
Ada beberapa alasan kenapa audio post-production film Petaka Gunung Gede (2025) dibuat dinamis. Alasan pertama karena pict lock alias hasil editing yang sudah terbentuk alur cerita, di film ini, cut-nya padat dan cepat.
"Kalau kita kasih nafas terlalu panjang, pas kita tonton kayaknya kurang cocok nih sama apa yang diinginkan sutradara. Jadi memang cenderung dinamis. Tiba-tiba kencang, habis itu pelan lagi, gak lama kencang lagi," ujar lulusan SAE Institute Thailand jurusan Audio Engineering ini.
WUNI Studio menggunakan treatment khusus untuk menunjang adegan jumpscare di film ini. Contohnya saat adegan Ita (Adzana Ashel) melihat penampakan di kamar mandi basecamp. Perubahan suara tersebut menandakan ada sesuatu yang akan terjadi.
"Kita main sampai detail suara yang terendah pun ada. Setelah Ita dikagetin sama hantu dari atas, kita kasih treatment khusus, seperti suara jangkrik yang berubah. Lalu tiba-tiba ada suara anjing dari kejauhan yang teriak-teriak karena panik, bertepatan setelah Ita teriak habis lihat hantu," tambah Tama.
Keunikan lain dari audio post-production di film ini adalah setelah adegan jumpscare, suara yang disajikan cenderung sunyi. Ternyata metode itu digunakan agar penonton bisa bernafas sejenak di tengah adegan yang memacu adrenalin.
"Itu kita kerjasama dengan musik komposer juga ya. Jadi bentuknya riser musik atau instrumen untuk merancang transisi. Jadi di-build up dulu sebelum dikagetin. Habis itu ya udah, selesai kita turunin dulu. Supaya gak terlalu capek juga kalau kita hajar kencang terus," tutur filmmaker yang melanjutkan pendidikan di Middlesex University BA (Hons) ini.