Demo tolak kudeta militer di Myanmar (Unsplash/Gayatri Malhotra)
Sejak merdeka dari Inggris di tahun 1948, Myanmar belum menemukan sistem pemerintahan yang bisa memfasilitasi semua etnis yang mendiami wilayah mereka. Di awal kemerdekaan, negara ini pernah mencoba sistem demokrasi perwakilan lewat parlemen. Namun, sejak tahun 60an, junta militer yang dikuasai etnis Burma mengambil alih pemerintahan dan memberlakukan banyak kebijakan yang merugikan dan membahayakan etnis minoritas.
CNN lewat liputannya di tahun 2015 menemukan bahwa setidaknya ada belasan kelompok militan berbasis etnis minoritas seperti Shan, Rakhine, Kokang, dan lain sebagainya yang melakukan perlawanan secara gerilya. Pemerintah pernah mengundang beberapa kelompok ini untuk membahas kemungkinan damai, tetapi tak semua kelompok diakui. Bahkan beberapa dilabeli teroris oleh pemerintah Myanmar.
Junta militer Myanmar sempat melemah di tahun 2011 dan seorang politisi sipil bernama Thein Sein ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Puncaknya di tahun 2015, Myanmar melakukan pemilu langsung pertama kali dan memilih Aung Sang Suu Kyi sebagai pemimpin baru. Meski dianggap sebagai angin segar, pemerintah sipil terpilih dianggap gagal mengatasi krisis kemanusiaan yang menyasar etnis minoritas yang tidak diakui sebagai warga negara seperti Rohingya.
Di tahun 2020, Myanmar kembali melaksanakan pemilu langsung. Pemilu dimenangkan NLD, partai pengusung San Suu Kyi. Namun, partai militer USDP tak terima dan melakukan kudeta di awal 2021 kemarin. Sempat memunculkan gelombang protes, militer berhasil membungkam warga dengan senjatanya. Hingga kini proses peralihan kekuasaan masih berlangsung di Myanmar.