5 Fakta Stockholm Syndrome yang Harus Kamu Tahu

Dalam beberapa film kita sering menemukan tentang kisah romansa antara si penculik dengan korbannya, atau korban penculikan yang tiba-tiba merasa simpati lalu jatuh cinta dengan orang yang menjahatinya. Fenomena ini disebut sebagai Stockholm Syndrome. Sindrom ini juga disebut capture bonding dimana korban penculikan biasanya terisolasi dari dunia luar dan hanya menghabiskan waktu dengan penculiknya. Kondisi tersebut berdampak kepada psikologi korban dan membuatnya mentoleransi hal-hal buruk yang dilakukan sang penculik kepadanya, tetapi sang korban justru memiliki perasaan simpati terhadap sang penculik.
Stockholm Syndrome bisa dibilang merupakan fenomena psikologi yang jarang. FBI mencatat dari banyaknya kasus penculikan, hanya 8% saja yang mengindikasikan gejala Stockholm Syndrome. Banyak juga ahli psikologi yang menganggap fenomena sindrom ini sebagai satu bentuk kesalahan dari upaya survival para korban penculikan.
Sebenarnya apa sih Stockholm Syndrome itu dan mengapa seseorang bisa sampai mengalaminya?
1. Asal usul nama Stockholm Syndrome
Nama Stockholm Syndrome diambil dari salah satu kejadian perampokan bank Sveriges Kreditbanken yang terjadi di kota Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Sang pelaku perampokan bernama Jan-Erik Olsson merupakan narapidana dan menyandera 4 pegawai bank di dalam salah satu ruangan brankas utama bank. Olsson menyandera keempat pegawai tersebut selama 6 hari dari tanggal 23 Agustus hingga 28 Agustus 1973.
Selama jangka waktu 6 hari tersebut, polisi kota Stockholm mencoba bernegosiasi dengan Olsson dan sang pelaku perampokan meminta rekan satu penjaranya, yakni Clark Olofsson untuk bisa bergabung dengannya, jika hal tersebut dikabulkan maka ia akan mempertimbangkan untuk melepas keempat sandera.
Polisi kota lantas mengabulkan permintaan Olsson dengan mebebaskan Olofsson dan membiarkannya bergabung dengan Olsson. Tetapi selama 6 hari penyekapan dan negosiasi, 4 korban penyekapan bank ternyata menunjukkan perilaku yang aneh. Mereka justru mendukung motivasi Olsson dan meminta sang penjahat untuk tidak menyerah kepada polisi. Mereka justru lebih takut kepada pihak keamanan dibandingkan Olsson dan Olofsson yang selama 6 hari menyekap mereka.
Sementara pihak polisi terus memikirkan upaya agar dapat membebaskan keempat sandera, mereka akhirnya dapat menjebol brankas utama tempat Olsson menyekap keempat korban. Polisi pun langsung melancarkan serangan gas airmata kepada 2 pelaku perampokan. Seorang krimolog sekaligus psikiatri yang membantu polisi dalam kejadian tersebut, Nils Bejerot, lantas dengan cepat menyadari ikatan emosional antara keempat korban terhadap Olsson segera setelah keempatnya dievakuasi dari bank. Keempat korban bahkan menolak untuk bersaksi atau menjatuhkan dakwaan kepada kedua pelaku.
Nils Bejerot menganggap apa yang keempat pegawai bank tersebut lakukan merupakan salah satu reaksi psikologi mereka selama 6 hari penyekapan. 4 korban yang disekap di dalam ruangan brankas kecil menyadari bahwa mereka tidak bisa kabur, ditambah dengan fakta bahwa Olsson terus menerus menodongkan senjata api ke arah mereka membuat keempat korban beradaptasi dengan ancaman yang dilayangkan oleh Olsson. Kondisi psikologi ini kemudian sampai kepada titik dimana korban justru memiliki keyakinan bahwa pelaku menjadi tidak berbahaya (harmless).