“Sampai kehabisan kata-kata ketika tahu alasan Alya membenci orang tuanya.”
Namanya Alya. Usianya baru menginjak 21 tahun. Ia anak pertama dari empat bersaudara. Bertahun-tahun lamanya Alya hidup bersama orang tua dan saudara-saudaranya. Semakin lama, Alya semakin membenci orang tuanya. Yang membuat kaget adalah alasan dibalik kebencian Alya terhadap orang tuanya. Ini sepenggal curhatan Alya mengenai Ayah dan Ibunya.
“Apakah kamu mencintai orang tuamu? Jawabanmu iya? Mungkin mereka orang tua terbaik yang pernah kamu miliki. Tapi tidak untukku. Aku membenci orang tuaku. Mereka terlalu bodoh, mereka terlalu naïf untuk selalu percaya kata-kataku.
Aku benci Ayahku. Setiap pagi pukul 05.30 dia selalu membangunkanku dan adik-adikku. Ia takut kami terlambat sekolah dan tidak bisa mengkuti pelajaran pertama. Padahal seharusnya Ayah bisa bersiap-siap untuk membuka depot kecilnya.
Aku benci Ibuku. Ia selalu bangun pukul 03.00, hanya untuk menyiapkan makanan untuk di depot dan sarapanku serta adik-adikku. Seharusnya Ibu bisa tidur lebih lama, mengistirahatkan mata, tubuh, tangan, kaki dan batinnya agar ia tidak kelelahan.
Aku benci Ayahku. Ia masih sempat mengantarkan kami hingga ke ujung jalan, sebelum kami naik angkutan umum menuju sekolah. Huh, bisa-bisanya Ayah menggandeng adik dan tersenyum dengan lebarnya. Padahal ia seharusnya bisa menghabiskan kopinya di rumah sambil bersantai membaca koran sebelum bekerja di depot. Dan tahu apa alasan Ayah? Hanya ingin memastikan semua anaknya aman.
Aku benci Ibuku. Ia membuang waktunya dengan membungkuskan bekal untuk aku dan adik-adikku. “Daripada jajan terus di kantin, uang jajanmu bisa kamu tabung kan, Kak?” Begitu sanggahan Ibu ketika aku bertanya mengapa ia masih rajin membawakanku bekal makan siang. Padahal Ibu bisa memanfaatkan waktunya untuk duduk dan istirahat sejenak setelah memasakan makanan untuk depot.
Aku benci Ayahku. Ia bekerja terlalu keras bersama Ibu di depot. Kalau ada orang yang pesan cukup banyak, Ayah harus naik motor mengantarkan seluruh pesanan. Belum lagi kalau ada yang salah atau kurang, Ayah selalu dibentak-bentak dan dimaki orang. Tapi yang keluar dari mulut Ayah hanyalah kata maaf.
Aku benci Ibuku. Ia selalu berdiri dan memasak di dapur hingga kakinya selalu sakit di malam hari. Aku tahu itu walau Ibu menyembunyikannya dariku. Belum lagi ketika depot ramai di siang hari. Aku juga marah pada keadaan karena Ayah dan Ibu tidak bisa membayar orang yang dapat membantu pekerjaan mereka. Jadi mereka terpaksa melakukan semuanya sendirian.”
Aku benci Ayahku. Ia harus meninggalkan Ibuku di depot sendirian hanya untuk menjemput anak-anaknya di ujung jalan. Lebih tepatnya adik-adikku, kadang aku merasa malas untuk langsung pulang ke rumah. Buat apa sih?! Seharusnya Ayah bisa membuang tenaganya di depot, bukan untuk menjemput adik-adik, berjalan bersama sambil mendengarkan cerita nggak penting adik-adik soal kegiatan mereka di sekolah seharian.
Aku benci Ibuku. Ia suka sekali berbohong! Aku tahu kadang hingga sore, ia belum menyantap makan siang karena terlalu sibuk. Tapi ia selalu berusaha menenangkanku, “Nggak apa-apa, Kak. Ibu sudah makan sedikit kok tadi.”
Aku benci Ayahku. Tidak peduli seberapa lama aku pergi, ia selalu ada di sana. Di ujung gang. Di pinggir jalan. Menanti putri sulungnya pulang kembali. Seharusnya ia bisa duduk di rumah, bersantai menonton televisi bersama keluarga lainnya. Tapi ia ada di sana. Tak peduli saat panas maupun hujan, Ayah selalu ada di sana saat aku pulang.
Aku benci Ibuku. Mungkin ia terlalu bodoh untuk bisa kubohongi. Ia selalu mengira aku pergi mengerjakan tugas bersama temanku. Padahal aku pergi jalan-jalan bersama teman-teman. “Buat apa Ibu tidak percaya padamu? Kamu kan anak Ibu, sudah hal yang pasti Ibu percaya padamu karena Ibu sayang padamu.” Naif sekali kan?
Aku benci Ayah dan Ibuku. Malam-malam benar, aku tahu mereka lelah, tapi mereka masih menyempatkan diri untuk masuk ke kamar kecilku dan adik-adikku hanya untuk memastikan apakah kami semua baik-baik saja.
Aku benci Ayah dan Ibuku. Mereka juga masih menyempatkan berdoa lima waktu. Tak lupa juga mereka selalu minta perlindungan untuk anak-anaknya. Seharusnya mereka bisa meminta kekuatan untuk diri mereka yang sudah semakin menua itu.
Aku benci Ayah dan Ibuku. Sebenci-bencinya mereka terhadap diriku, entah mengapa aku selalu dimaafkan. Mereka selalu ada di sana, duduk manis mendengarkan keluh kesahku. Aku heran mengapa orang tuaku seperti orang yang terlalu bodoh untuk diajari dunia.
Aku benci Ayah dan Ibuku. Mereka bekerja keras di depot hanya supaya aku dan adik-adikku bisa terus bersekolah dan mencicipi indahnya dunia. Seharusnya mereka bisa memanfaatkan uang tersebut untuk hal-hal lain, keinginan mereka berdua yang tidak pernah terwujud, berlibur bersama misalnya.
Aku benci Ayah dan ibuku. Mereka selalu menyimpan bagian terbaik dalam hidup mereka demi keempat anaknya. Anak-anak yang mungkin tidak pernah menghargainya. Tapi mereka masih tetap melakukannya siang dan malam. Mungkin mereka sudah dibutakan oleh cinta.
Aku benci Ayah dan Ibuku. Mereka terlalu bodoh karena masih menanggapi buah hatinya. Walau sering sekali anak-anaknya menyakiti hati mereka berdua dan bersikap kurang ajar, tapi mereka masih mau mengulurkan tangannya, menarik lembut tangan anak-anaknya, mendekap mereka dalam pelukan. Mereka masih bisa berkata, “Tidak apa-apa, nak. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.” sambil mengelus-elus rambut kami. Entah apa yang ada di otak mereka berdua, tapi aku membenci mereka. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama sepertiku?
Karena Ayah dan Ibu terlalu sayang anak-anaknya.
Karena Ayah dan Ibu terlalu banyak rela berkorban.
Karena Ayah dan Ibu selalu ada di sana ketika anak-anaknya membutuhkan.
Karena Ayah dan Ibu selalu setia menggandeng tangan kami untuk memberikan rasa aman dan tenteram.”
Apa kamu juga punya orang tua seperti orang tuaku?