PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder merupakan sindrom yang sering mengintai para tentara pasca pulang dari medan perang atau daerah konflik. Apabila para pengambil keputusan dalam militer memperhatikan hal ini, maka penggunaan dana militer terbesar bukanlah untuk alutsista, melainkan biaya kesehatan dan rehabilitasi para tentara yang mengidap PTSD.
Menurut penelitian, persentase tentara dan veteran Inggris yang melakukan bunuh diri ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan banyaknya tentara yang tewas saat berperang melawan Taliban di Afghanistan sepanjang tahun 2012. Seperti yang telah dilansir oleh BBC, pada tahun 2012 sebanyak 21 tentara tewas karena bunuh diri, sementara itu di tahun yang sama sebanyak 29 orang veteran juga tewas karena hal yang sama.
Jika kita bandingkan, tentara yang tewas pada konflik Afghanistan hanya sekitar 44 orang. Sebanyak 40 tentara tewas dalam pertempuran langsung melawan Thaliban. Dan masih ada 14 kasus kematian lainnya yang masih dicurigai bunuh diri tapi belum dapat diputuskan karena kurangnya bukti penyelidikan. Hal yang sama juga terjadi pada militer dan veteran perang di Negara-negara besar seperti Australia dan Amerika Serikat (AS). Bahkan jumlah korban di AS lebih tinggi.
Angka-angka korban bunuh diri itu tersebar luas karena adanya hak kebebasan informasi yang dapat diambil dari Kementrian Pertahanan Inggris. Semakin maraknya pasca-trauma di kalangan militer dan veteran perang, telah mendorong Kementrian Pertahanan Inggris untuk mengalokasikan dana sebesar 7,4 juta euro untuk perawatan dan rehabilitas para korban.
Beberapa keluarga tentara berpendapat, terjadinya kasus bunuh diri pada tentara dan veteran perang dikarenakan mereka tak mendapatkan bantuan yang cukup. Pernyataan ini menimbulkan dukungan agar militer membantu lebih banyak untuk mendukung para tentara yang mengidap stress (post-traumatic stress disorder/PTSD).