Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi konser (unsplash.com/@anthonydelanoix)
ilustrasi konser (unsplash.com/@anthonydelanoix)

Intinya sih...

  • Hubungan parasosial dengan tingkat Borderline Pathological membuat penggemar merasa memiliki ikatan emosional dan fantasi dengan sang idola

  • Industri hiburan KPop membuka banyak ruang bagi penggemar untuk memiliki ilusi seolah bisa ‘menggapai’ idolanya

  • Pengaruh fandom yang mendorong penggemar untuk merasa berhak memiliki dan mengatur sang idola

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pengumuman hubungan asmara idol KPop hampir selalu diikuti dua reaksi ekstrem: ucapan selamat dari publik dan kekecewaan mendalam dari sebagian penggemar. Padahal, jatuh cinta adalah hal manusiawi. Lalu, kenapa fenomena ini terasa begitu menyakitkan bagi penggemar tertentu? Jawabannya berkaitan dengan cara kerja industri hiburan Korea, dinamika psikologi penggemar, dan budaya fandom yang sudah terbentuk bertahun-tahun. Yuk, simak!

1. Hubungan parasosial dengan tingkat Borderline Pathological membuat penggemar merasa memiliki ikatan emosional dan fantasi dengan sang idola

Ilustrasi fans menikmati konser. (pexels.com/Luis Quintero)

Melansir web riset Ebsco, parasosial merujuk pada hubungan satu arah dimana individu merasa terhubung dengan suatu persona, seperti misalnya antara penggemar dengan idolanya. Meskipun sang idola tidak benar-benar mengenal penggemar tersebut secara personal. Namun, penggemar memiliki ikatan emosional dengan sang idola, karena penggemar merasa mengenal dan mengetahui banyak hal tentang idolanya, dengan mempelajari kehidupan sang idola melalui beragam media. 

Masih dalam sumber yang sama, menurut Lynn E. McCutchen dan John Maltby, hubungan parasosial memiliki tiga tingkat intensitas. Pertama adalah Entertainment–Social, yaitu ketika ketertarikan penggemar terhadap idola muncul karena alasan hiburan. Pada tahap ini, penggemar menikmati mencari berbagai informasi tentang idola mereka dan senang membicarakannya dengan orang lain, khususnya dengan sesama penggemar yang memiliki idola yang sama.

Kedua adalah Intense–Personal. Pada tingkat ini, keterikatan emosional penggemar terhadap idola favoritnya menjadi lebih mendalam. Penggemar menunjukkan empati yang kuat, sehingga mereka dapat ikut merasakan kesedihan idola maupun kebahagiaan idola ketika mengalami hal-hal positif.

Ketiga adalah Borderline–Pathological. Pada tahap ini, penggemar mulai menunjukkan perilaku yang berlebihan dan sulit dikendalikan, serta mengembangkan fantasi terhadap idolanya. Penggemar bahkan dapat bersedia melakukan tindakan apapun demi sang idola, termasuk tindakan yang melanggar norma atau hukum. Selain itu, penggemar meyakini bahwa perasaan yang mereka berikan akan dibalas secara setara oleh idolanya.

Ketika penggemar sudah mencapai tingkatan Borderline Pathological, maka sering kali menggiring perilaku penggemar kepada hal-hal obsesif yang bisa menimbulkan rasa kurang nyaman bahkan tidak aman bagi sang idol, seperti misalnya penguntitan bahkan ujaran kebencian pada idola. Termasuk saat idola yang mereka fantasikan hanya milik mereka seorang, tiba-tiba diberitakan tengah jatuh hati dan menjalin hubungan romantis dengan orang lain, maka tentu akan memicu reaksi emosi negatif dari penggemar.

2. Industri hIburan KPop membuka banyak ruang bagi penggemar untuk memiliki ilusi seolah bisa ‘menggapai’ idolanya

Fans berinteraksi dan berbagi antusias yang sama. (pexels.com/Erik Mclean)

Menurut penelitian Liebers & Schramm dalam Jurnal Communication Research Trends, industri hiburan secara sadar membangun hubungan parasosial. Dalam industri Kpop, hubungan parasosial diperkuat dan dirawat lewat fan service dan konten harian idol yang terasa personal. Melalui aplikasi seperti Bubble, V Live, Weverse, agensi memberikan ruang interaksi dimana idola dapat menyapa penggemar dengan sapaan langsung seperti, “aku rindu kamu”, atau membalas pertanyaan-pertanyaan personal penggemar melalui ruang chat. Akibatnya, sebagian penggemar merasa idol Kpop adalah sosok yang dekat secara emosional dan seolah bisa tergapai, meski tidak mengenal mereka secara personal. 

Saat idola yang mereka dekati secara intens dengan meluangkan waktu, emosi bahkan materi diberitakan menjalin hubungan romantis, tentu fantasi kedekatan itu runtuh—dan rasa kehilangan pun muncul. Bagi sebagian penggemar, ini terasa seperti ‘dikhianati’.

Perasaan ‘pengkhianatan’ itu juga muncul karena sistem KPop sejak awal membangun citra idol sebagai sosok yang fokus pada karier, ‘tersedia’ untuk penggemar, tidak menunjukkan kehidupan asmara demi menciptakan ilusi bahwa penggemar adalah prioritas utama. Sehingga, ketika idol jatuh cinta, sebagian penggemar merasa dibohongi oleh sistem yang selama ini mereka beli secara emosional dan finansial.

3. Pengaruh fandom yang mendorong penggemar untuk merasa berhak memiliki dan mengatur sang idola

ilustrasi sasaeng stalker (Pixabay.com/Shutterbug75)

Fandom (fans kingdom) merupakan komunitas penggemar Kpop, dimana masing-masing fandom selalu memiliki aktivitas bersama untuk mendukung idolanya atau sekadar berbagi kabar terbaru dari sang idola. Mengutip Jurnal Psikologi Ulayat, dalam perspektif psikologi, fenomena tersebut disebut variabel identitas, yakni kondisi dimana penggemar dalam komunitas penggemar mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok tertentu.

Menurut hasil penelitian Felicia dkk dalam Jurnal Psikologi Ulayat, bergabungnya penggemar pada fandom meningkatkan intensitas tingkat parasosial. Hal tersebut dikarenakan waktu dan tenaga yang diberikan untuk mendukung idola akan meningkat. Ditambah lagi, faktor industri KPop yang menciptakan ilusi penggemar adalah segalanya bagi idola, dan sikap Idol KPop yang secara sengaja menjalin hubungan yang erat dengan fandom-nya pun, membuat penggemar merasa memiliki hubungan yang lebih spesial dengan idolanya.

Namun, semakin intens penggemar meluangkan waktu dan tenaganya untuk sang idola, maka emosi yang muncul dalam hubungan parasosial bisa sama intensnya dengan hubungan sosial nyata, termasuk emosi negatif saat sang idola dikabarkan menjalin hubungan romantis. Emosi tersebut bertahan lebih lama sekaligus meluas ketika penggemar menemukan sesama anggota fandom yang memvalidasi perasaan tersebut. 

Melansir Britannica, dalam teori identitas sosial, keanggotaan kelompok dapat membantu individu untuk menanamkan makna dalam situasi sosial. Keanggotaan kelompok membantu orang untuk mendefinisikan siapa mereka, motivasi perilaku dan menentukan bagaimana mereka berhubungan dengan individu lain. 

Jika mengaitkan teori identitas sosial dengan fandom Kpop, dapat terlihat bahwa anggota fandom memaknai sang idol adalah ‘milik’ mereka dan harus memprioritaskan penggemar. Hal tersebut memvalidasi penggemar untuk merasionalisasi bahwa ketika idolanya berkencan maka artinya sang idol tidak menunjukkan penghargaan diri kepada penggemar yang sudah mendukung dari enol. Idol yang memilih berkencan secara terbuka dianggap tidak profesional dan mengkhianati penggemar, sehingga penggemar menganggap berhak marah pada pilihan idol untuk berkencan. 

Nah, itu tadi penjelasan mengapa sampai saat ini kita masih mendengar kabar tentang penggemar KPop yang menunjukkan emosi negatifnya ketika mendengar Idolanya menjalin hubungan romantis. 

Pada akhirnya, kedewasaan dalam mengidolakan tidak diukur dari seberapa besar rasa memiliki, melainkan dari seberapa jauh kita mampu menghormati batas. Mengapresiasi karya, disiplin, dan perjalanan panjang seorang idol jauh lebih bernilai daripada mengontrol kehidupan pribadinya. Ketika idol memilih untuk menjalin hubungan, hal itu tidak mengurangi profesionalisme maupun kualitas karya mereka, justru itu menjadi pengingat bahwa di balik panggung dan sorotan kamera, mereka tetap manusia biasa. 

Sikap dewasa dari penggemar adalah kunci terciptanya ekosistem hiburan yang sehat. Idol dapat hidup dan berkarya dengan aman tanpa tekanan irasional, sementara penggemar menikmati fandom tanpa beban emosi berlebihan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team