Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi membuat konten di media sosial (pexels.com/Ron Lach)

Saat ini, profesi content creator menjadi idaman banyak orang. Bukan tanpa alasan, potensi penghasilan yang bisa diperoleh seorang pembuat konten sangat menggiurkan. Gak tanggung-tanggung, nominalnya bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan kalau kamu sudah berada di top tier atau kalangan teratas.

Meski tampaknya pekerjaan ini mudah dan menyenangkan, tapi kenyataannya tidak demikian, lho. Hasil studi Tasty Eats, sebuah platform penyuntingan video yang melakukan survei kepada 29.000 kreator YouTube, Instagram, dan TikTok, menunjukkan bahwa 75 persen kreator mengalami burnout atau kelelahan mental.

Para content creator menghadapi berbagai tekanan, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Salah satunya selalu dituntut kreatif agar kontennya viral di media sosial.

1. Tekanan menghasilkan konten out-of-the-box

ilustrasi membuat konten (pexels.com/Anna Nekrashevich)

Semakin berkembangnya media sosial, semakin banyak pula orang mencari peruntungan dengan membuat konten. Karenanya, kompetisi untuk menghasilkan konten yang viral kian sengit. Agar berhasil, seorang content creator dituntut untuk terus memunculkan ide-ide segar dan kreatif yang mampu menarik perhatian audiens.

Menonjol di tengah persaingan yang ketat memerlukan pemikiran “out of the box." Tidak jarang, para kreator merasa tertekan untuk menemukan formula atau konsep yang belum pernah ada sebelumnya, demi mencapai viralitas. Jika tidak, ada kekhawatiran bahwa konten mereka akan tenggelam dan kehilangan audiens.

Menjaga kreativitas ini bukanlah hal yang mudah. Banyak kreator yang mengalami "creative block" atau kebuntuan ide karena tekanan untuk terus-menerus menyajikan konten yang menarik. Terlebih lagi, algoritma media sosial yang tidak menentu membuat mereka harus selalu berpikir lebih jauh agar konten yang dihasilkan mendapat eksposur maksimal.

2. Tekanan finansial akibat ketidakpastian proyek

ilustrasi orang memiliki keuangan terbatas (pexels.com/Karolina Grabowska)

Meski kehidupan content creator terlihat glamor, tapi mereka sering kali menghadapi ketidakpastian finansial. Pendapatan mereka biasanya bergantung pada sponsor, endorsement, dan paid project yang kadang tidak datang secara rutin. Karena itu, banyak kreator merasa cemas tentang kondisi keuangan mereka.

Mau tidak mau, mereka harus berpikir kreatif agar bisa eksis dan dilirik oleh brand. Di samping itu, mereka juga mesti aktif mencari klien alih-alih menunggu tawaran project. Beban ini semakin terasa ketika media sosial mengalami perubahan algoritma yang bisa memengaruhi jumlah tayangan atau monetisasi, sehingga pendapatan menjadi semakin tidak menentu.

3. Tekanan dari media sosial itu sendiri

ilustrasi orang membaca hate comment di media sosial (pexels.com/mikoto.raw Photographer)

Media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, medsos memberikan panggung untuk kreator. Di sisi lain, platform ini juga menjadi sumber tekanan yang besar. Kreator harus selalu aktif, menjaga engagement, serta memperhatikan algoritma yang terus berubah. Mereka harus selalu memantau medsos 24/7 agar gak kehilangan momen.

Lebih parahnya lagi, content creator juga sering menjadi sasaran komentar negatif, kritik, atau bahkan bullying dari netizen. Tekanan sosial ini bisa sangat memengaruhi kesehatan mental. Sejumlah kreator bahkan mengalami "burnout” akibat terus-menerus harus menjaga citra dan reputasi di depan publik yang sering kali memiliki ekspektasi tinggi.

4. Ekspektasi yang tinggi dari brand dan audiens

ilustrasi orang membuat konten (freepik.com/freepik)

Tak sampai di situ, kreator konten juga menghadapi ekspektasi yang tinggi dari klien dan audiens. Klien menginginkan hasil yang sesuai dengan investasi mereka, sementara audiens berharap terus mendapatkan konten yang menghibur. 

Kombinasi dari berbagai ekspektasi ini dapat menambah tekanan bagi kreator. Jika konten yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan, mereka bisa kehilangan kerja sama dan penggemar setia. Tentunya hal ini berdampak pada pendapatan dan keberlanjutan karier mereka.

5. Kehilangan work life balance

ilustrasi orang membuat konten (freepik.com/freepik)

Ketika memutuskan menjadi content creator, kamu harus siap mengorbankan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Terlebih kalau kamu juga memiliki pekerjaan utama. Karena proses pembuatan konten menyita waktu dan biasanya dilakukan saat lapang, maka waktu istirahat akan terpangkas signifikan.

Tak sampai di situ, beberapa kreator konten juga harus rela kehilangan privacy, sehingga tak ada lagi batasan antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan. Tidak jarang, netizen sampai mengulik kehidupan orang-orang di sekitar mereka, termasuk keluarga dan teman. Ini bukan tak mungkin menyebabkan kelelahan fisik dan mental, serta mengurangi kualitas hidup dan keharmonisan dengan orang terdekat.

Kehidupan kreator konten yang tampak penuh warna dan menyenangkan di layar ternyata memiliki sisi gelap juga. Berbagai tekanan seperti yang dijelaskan di atas siap menyerang dari segala arah. Walau potensi pendapatan yang diterima sangat besar, tapi mungkin harus dibayar dengan burnout dan stres berkepanjangan.

Kalau tertarik menekuni profesi ini, pastikan kamu memahami risiko yang dihadapi. Kamu bisa menyusun strategi untuk menghadapi tekanan ini dengan cara yang sehat. Jangan lupa untuk menetapkan batasan yang jelas agar kamu bisa menyeimbangkan segala aspek dalam kehidupanmu sehingga berjalan lancar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team