Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pria stres di tempat kerja
ilustrasi pria stres di tempat kerja (pexels.com/Produksi ANTONI SHKRABA)

Intinya sih...

  • Standar sukses diukur dari produktivitas, membuat istirahat dianggap kemewahan dan mengejar hasil demi validasi.

  • Budaya membandingkan pencapaian antar teman mendorong bekerja lebih keras, tapi perbandingan tak pernah berakhir.

  • Pandangan bahwa diam berarti malas membuat orang takut terlihat tidak aktif, padahal diam adalah cara terbaik untuk memulihkan diri.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak orang sadar bahwa budaya kerja tanpa henti alias hustle culture bisa bikin stres dan kehilangan arah hidup. Namun, anehnya, semakin banyak orang yang justru bangga hidup dalam kesibukan itu. Seolah lelah adalah bukti bahwa hidup mereka berarti dan berguna.

Di balik semua ini, ada ekspektasi sosial yang mendorong kita untuk terus berlari tanpa tahu kapan waktunya berhenti. Ekspektasi yang muncul dari lingkungan, budaya kerja, bahkan media sosial. Karena itu, mari kita kenali satu per satu ekspektasi sosial yang tanpa sadar membuat budaya ini terus bertahan.


1. Standar sukses yang selalu diukur dari produktivitas

ilustrasi seorang wanita bekerja di kantor (pexels.com/olia danilevich)

Sejak kecil, kita diajarkan bahwa orang sukses adalah yang paling sibuk dan menghasilkan banyak hal. Akibatnya, kita merasa bersalah kalau tidak sedang bekerja atau belajar sesuatu. Istirahat dianggap kemewahan, bukan kebutuhan.

Padahal, produktivitas tanpa arah bisa membuat kita kehilangan makna hidup. Kita jadi mengejar hasil demi validasi, bukan karena benar-benar menikmatinya. Ekspektasi ini membuat banyak orang takut terlihat santai karena takut dikira tidak ambisius.


2. Budaya membandingkan pencapaian antar teman

ilustrasi wanita melirik ke arah rekannya (pexels.com/Yan Krukau)

Media sosial membuat kita mudah membandingkan diri dengan orang lain. Ketika teman sebaya pamer promosi, bisnis baru, atau pencapaian, kita merasa tertinggal. Dari situ muncul dorongan untuk bekerja lebih keras hanya demi bisa sejajar.

Masalahnya, perbandingan ini tidak pernah berakhir. Selalu ada orang yang lebih sibuk dan lebih berhasil. Akhirnya, kita terus memaksa diri masuk dalam siklus hustle culture yang justru menguras energi dan kebahagiaan.


3. Pandangan bahwa diam berarti malas

ilustrasi wanita berdiam diri di depan laptop (pexels.com/Karola G)

Banyak orang masih menilai diam atau istirahat sebagai tanda tidak produktif. Kalau tidak sedang melakukan sesuatu yang berguna, kita dianggap buang-buang waktu. Pandangan ini bikin orang takut terlihat tidak aktif.

Padahal, diam tidak selalu berarti malas. Kadang diam adalah cara terbaik untuk memulihkan diri dan berpikir lebih jernih. Tapi karena ekspektasi sosial menuntut kita selalu bergerak, diam pun akhirnya jadi hal yang menakutkan.


4. Kerja keras dianggap satu-satunya jalan sukses

ilustrasi wanita sibuk bekerja keras (pexels.com/Ron Lach)

Banyak orang percaya bahwa keberhasilan hanya bisa diraih lewat kerja keras tanpa henti. Kita tumbuh dengan cerita tentang orang yang begadang, lembur, dan berjuang sampai titik darah penghabisan demi sukses. Hal ini membuat istirahat terasa seperti dosa kecil yang harus dihindari.

Padahal, kerja keras bukan satu-satunya kunci keberhasilan. Ada kerja cerdas, strategi, dan keberuntungan yang juga berperan besar. Tapi karena masyarakat terlalu menyanjung mereka yang terlihat sibuk, kita jadi takut menurunkan tempo dan menikmati hidup.


5. Validasi sosial dari kesibukan

ilustrasi wanita sedang berbicara di telepon (pexels.com/Kru Los Muertos)

Di dunia yang cepat ini, sibuk dianggap keren. Orang yang punya banyak kegiatan terlihat penting dan produktif. Sementara yang hidup tenang sering dianggap tidak punya ambisi.

Akibatnya, banyak orang sengaja menampilkan diri seolah sangat sibuk agar terlihat berharga. Kita mulai menilai nilai diri dari seberapa banyak hal yang kita kerjakan. Lama-lama, validasi itu membuat kita terperangkap dalam peran yang melelahkan tapi sulit dihentikan.


6. Ketakutan dianggap gagal oleh lingkungan

ilustrasi wanita yang terlihat putus asa (pexels.com/Mikhail Nilov)

Ekspektasi dari keluarga atau masyarakat sering membuat kita terus bekerja meski sebenarnya sudah kelelahan. Takut dicap gagal, malas, atau tidak berguna membuat kita terus memaksa diri. Kita lebih takut penilaian orang lain daripada kehilangan diri sendiri.

Padahal kegagalan bukan akhir dari segalanya. Kadang berhenti sejenak justru membuat kita bisa melihat arah baru yang lebih baik. Tapi karena lingkungan sering menilai hidup dari hasil, bukan proses, kita akhirnya memilih tetap berlari meski napas sudah habis.

Hustle culture tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari serangkaian ekspektasi sosial yang kita anggap normal. Masyarakat menanamkan ide bahwa nilai diri diukur dari seberapa banyak yang bisa kita capai. Akibatnya, banyak orang hidup dalam tekanan yang tidak terlihat.

Namun perlahan, kita bisa mulai mengubah cara pandang itu. Tidak semua kesibukan berarti produktivitas, dan tidak semua diam berarti gagal. Hidup bukan sekadar soal terus bergerak, tapi juga tahu kapan harus berhenti untuk tetap waras dan bahagia.


This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team