6 Penyebab Perempuan Ragu Jadi Pemimpin, Perlu Normalisasi

Kini perempuan memang makin mendapat kesempatan untuk menduduki posisi puncak dalam organisasi atau tim. Akan tetapi, masih banyak perempuan yang andai pun ditawari posisi pemimpin masih ragu untuk menerimanya. Mereka tidak mau berkompetisi dengan kandidat lain, terutama jika ada pria.
Meski sekadar menjadi anggota juga tidak buruk, alangkah baiknya bila perempuan lebih percaya diri untuk menerima tugas kepemimpinan. Kehadiran lebih banyak pemimpin perempuan akan memberikan warna yang berbeda di sebuah organisasi atau tim. Perempuan juga memiliki keunggulan seperti terkait kecenderungan lebih teliti, kemampuan berkomunikasi, dan kepedulian pada anak buah.
Satu sisi, perempuan sendiri mesti lebih berani memanfaatkan peluang yang ada. Di sisi lain, semua orang harus siap memberikan kesempatan yang sama antara pria dengan perempuan agar tidak terjadi ketimpangan. Di bawah ini enam penyebab perempuan ragu jadi pemimpin padahal mereka layak.
1. Kurangnya dukungan dari lingkungan terdekat
Untuk menjadi pemimpin, seseorang gak bisa mengangkat dirinya sendiri dari bukan siapa-siapa. Ia membutuhkan dukungan dari lingkungan yang akan dipimpinnya. Jika dukungan untuk perempuan sebagai kandidat pemimpin rendah, maka ia juga tidak percaya diri.
Bahkan bila ada kesempatan untuknya mencalonkan diri, biasanya itu tidak akan dimanfaatkan. Pikirnya simpel, buat apa dia mencalonkan diri hanya untuk kalah? Perempuan yang telah membaca arah dukungan tidak tertuju pada kaumnya memilih tetap di posisinya saja.
Butuh dukungan lingkungan yang lebih nyata agar perempuan berani bergerak menuju posisi puncak. Bukan peluang yang diberikan sekadar untuk memberikan kesan kesetaraan antara pria dengan perempuan. Tapi realitasnya dukungan tetap mengarah pada kandidat pemimpin berjenis kelamin pria sekalipun kemampuan mereka setara. Atau bahkan perempuan sebetulnya lebih unggul.