Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi karyawan (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi karyawan (pexels.com/Ron Lach)

Milenial dan generasi Z kerap dipandang kurang tahan terhadap tekanan di dunia kerja. Akibatnya, kita lebih mudah memutuskan resign. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sebisa mungkin ingin bertahan di satu kantor untuk selamanya.

Sekalipun pandangan tersebut pastinya gak berlaku buat semua milenial dan generasi Z, ada baiknya kita tetap berintrospeksi. Contohnya, menghindari reaksi berlebihan terkait pekerjaan dapat mengurangi keinginan kita buat resign. Berikut ulasannya.

1. Ditegur atasan, rasanya seperti dimarahi

ilustrasi karyawan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Terlepas soal raut wajah dan nada bicara atasan, kita perlu belajar membedakan teguran dengan kemarahan. Teguran dimaksudkan untuk menghentikan kekeliruan dan mendorong perbaikan perilaku atau hasil kerja. Sementara itu, kemarahan merupakan ungkapan dari rasa kesal.

Atasan yang memberi teguran akan membeberkan kesalahan kita, apa yang seharusnya dilakukan, serta peringatan apabila kita terus mengulangi kekeliruan. Sedang kemarahan biasanya hanya berisi makian, tudingan, serta perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Misalnya, atasan menggebrak meja atau mendorong kita.

2. Sesekali harus lembur dianggap sebagai perbudakan

ilustrasi karyawan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Jika terjadi perbudakan, artinya kita diwajibkan terus bekerja tanpa adanya upah. Kantor tak henti-hentinya mengisap seluruh energi kita untuk pekerjaan dan keuntungan mereka.

Nah, bandingkan dengan keharusan buat sesekali lembur. Kita bahkan memperoleh uang lembur yang lumayan besar. Jika kondisi kita sedang kurang fit, kita juga boleh menolaknya atau izin tak ikut lembur bersama karyawan yang lain. Pun lembur tidak terjadi setiap hari. Biasanya hanya di akhir bulan dan tahun atau ketika ada event penting di kantor.

3. Gaji berbeda dari teman di kantor lain langsung berpikir adanya ketidakadilan

ilustrasi karyawan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Padahal, adil bukanlah sekadar kesamaan jumlah. Dalam persoalan gaji, adil juga harus melihat di kantor apa kita dan teman bekerja. Juga, berapa upah minimum setempat.

Walau kedudukan kita dan teman sama, gaji tentu berbeda apabila dia bekerja di perusahaan besar sedangkan kita bernaung di perusahaan kecil. Kemampuan pemilik usaha buat mengupah karyawannya sudah pasti gak sama.

4. Malu karena sudah bekerja, tapi masih harus hidup hemat

ilustrasi malu (pexels.com/Alena Darmel)

Memangnya kita perlu auto menganut hedonisme selepas bekerja dan punya gaji sendiri? Tidak, kan? Terlebih gaya hidup berfoya-foya memang gak nyaman buat kita. Kita harus belajar mencukupkan penghasilan serta menggunakannya cuma buat yang penting-penting.

Gaji yang kecil wajib dikelola dengan sebaik mungkin. Namun pendapatan yang besar hendaknya juga tak bikin kita merasa bebas menghabiskannya. Tidak masalah apabila selepas bekerja, kita masih menghuni kos-kosan yang sama murahnya dengan kos-kosanmu semasa kuliah. Apa salahnya jika dengan begitu suatu saat kita lebih cepat membeli rumah?

5. Berlebihan dalam bekerja sampai stres dan mudah sakit

ilustrasi bekerja (pexels.com/Ksenia Chernaya)

Bersemangat dalam bekerja memang baik, asalkan kita tak lantas melupakan hak tubuh dan jiwa. Tidak boleh bekerja terus tanpa batas atau kita akan stres, sakit, dan sulit mengobatinya. Semua hasil kerja bakal terasa tak sepadan dengan dampak dari berlebihan dalam bekerja.

Kita sebenarnya tahu batas kemampuan diri dalam bekerja. Tubuh akan memberikan alarm agar kita berhenti bekerja dan beristirahat dulu. Hanya saja kerap kali kita yang memaksakan diri sampai jiwa dan raga gak kuat lagi.

6. Ingin resign cuma gara-gara gak cocok dengan teman

ilustrasi karyawan (pexels.com/Thirdman)

Bayangkan ketika kita bersekolah atau kuliah. Saat kita berselisih dengan beberapa teman, apakah kita otomatis pindah sekolah atau kampus? Hal serupa juga terjadi di dunia kerja. 

Kita gak perlu sampai resign cuma gara-gara kurang cocok dengan segelintir teman. Kita di sana kan buat bekerja, bukan mencari pasangan sehidup semati yang memerlukan kecocokan tinggi. Cocok atau tidak secara pribadi, terpenting masih sama-sama mampu bersikap profesional ketika bekerja.

Dalam segala hal, sikap berlebihan memang tidak baik. Kita bisa salah mengambil tindakan dan keputusan karena tak menyikapi sesuatu dengan sewajarnya. Termasuk di dunia kerja, kita dilarang gampang baper biar betah dan nyaman dalam bekerja.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team