Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi memimpin rapat (pexels.com/Christina Morillo)
ilustrasi memimpin rapat (pexels.com/Christina Morillo)

Intinya sih...

  • Kurangnya kepercayaan antar divisi memicu rapat rutin untuk memantau progres tim, menciptakan suasana kerja tidak nyaman.

  • Kantor tanpa tujuan kerja jelas cenderung sering mengadakan meeting tambal sulam atas kekaburan arah kerja, menurunkan efisiensi dan kualitas pekerjaan.

  • Budaya kerja yang mengukur kehadiran daripada hasil, serta komunikasi internal yang tidak efisien, menjadi alasan kantor terlalu sering mengadakan meeting.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Meeting adalah salah satu cara tim berkoordinasi dan menyamakan visi. Tapi, kalau diadakan terlalu sering, bukan hanya membuang waktu, tapi juga bisa bikin produktivitas menurun drastis. Bahkan, banyak pekerja kantoran merasa bahwa sebagian besar meeting yang mereka hadiri sebenarnya bisa diganti dengan email atau chat singkat.

Situasi ini bukan hanya terjadi di perusahaan besar, tapi juga di kantor kecil. Bisa jadi niatnya baik, seperti ingin transparansi atau menjaga kekompakan tim. Namun, ketika meeting jadi rutinitas harian tanpa hasil konkret, maka perlu dievaluasi ulang. Berikut enam alasan umum mengapa kantor terlalu sering mengadakan meeting, dan mungkin kamu pun pernah mengalaminya.

1. Kurangnya kepercayaan antar divisi

ilustrasi menyimak (pexels.com/Alex Green)

Salah satu penyebab utama kantor sering adakan rapat adalah kurangnya kepercayaan antara divisi atau atasan dan bawahan. Untuk memastikan semua berjalan sesuai rencana, manajemen jadi ingin memantau tiap langkah yang diambil tim. Akibatnya, mereka memilih menggelar pertemuan rutin demi mengontrol progres.

Kondisi ini bisa menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman. Pegawai merasa selalu diawasi dan sulit bergerak secara mandiri. Rasa tidak dipercaya bisa memengaruhi semangat kerja secara keseluruhan.

2. Kurangnya kejelasan tujuan kerja

ilustrasi karyawan (pexels.com/Yan Krukau)

Kantor yang tidak punya tujuan kerja yang jelas akan cenderung sering mengadakan meeting untuk mencari arah. Tim merasa butuh diskusi terus-menerus karena tidak tahu pasti target yang harus dicapai. Maka, rapat pun jadi semacam tambal sulam atas kekaburan arah kerja.

Akibatnya, banyak waktu habis untuk berdiskusi tanpa menghasilkan keputusan yang kuat. Tim pun cenderung bingung karena arah kerja selalu berubah-ubah. Ini bisa menurunkan efisiensi dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan.

3. Budaya kerja yang mengukur kerja dari kehadiran, bukan hasil

ilustrasi bertanya (pexels.com/RDNE Stock project)

Ada juga kantor yang masih terjebak dalam budaya kerja kuno, yaitu yang penting terlihat sibuk. Pertemuan rutin diadakan supaya pegawai terlihat aktif, meski sebenarnya isinya tidak terlalu penting. Seolah-olah ini adalah simbol kerja keras.

Sayangnya, budaya seperti ini membuat pegawai lebih fokus hadir daripada memberikan hasil nyata. Mereka jadi sulit punya waktu fokus untuk bekerja karena waktunya habis untuk rapat yang tak selalu berdampak besar. Lama-lama, semangat kerja bisa menurun karena terlalu banyak aktivitas yang tidak memberikan hasil langsung.

4. Komunikasi internal yang tidak efisien

ilustrasi berargumen (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Ketika komunikasi dalam tim tidak berjalan dengan baik, meeting sering dijadikan solusi cepat. Daripada terjadi miskomunikasi, kantor memilih untuk mengadakan rapat sesering mungkin agar semua orang berada di pemahaman yang sama. Tujuannya baik, tapi caranya belum tentu tepat.

Masalahnya, pertemuan tanpa sistem komunikasi pendukung bisa jadi tidak efektif. Informasi yang disampaikan secara lisan bisa mudah dilupakan atau disalahartikan. Jika kantor punya sistem komunikasi internal yang rapi, frekuensi meeting pun bisa lebih dikurangi.

5. Kebutuhan validasi dari atasan

ilustrasi berbicara dalam rapat (pexels.com/MART PRODUCTION)

Beberapa atasan merasa perlu memvalidasi setiap langkah timnya. Mereka ingin selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bahkan untuk hal kecil. Akibatnya, setiap progres kecil pun harus dibicarakan lewat pertemuan resmi.

Hal ini bisa memperlambat proses kerja karena terlalu banyak menunggu persetujuan. Tim jadi kurang leluasa untuk mengambil inisiatif atau mencoba pendekatan baru. Jika terus dibiarkan, kultur kerja jadi kaku dan tidak inovatif.

6. Tidak ada sistem monitoring kerja yang efisien

ilustrasi bos marah (pexels.com/Yan Krukau)

Kantor yang tidak punya sistem kerja atau tools manajemen proyek yang jelas biasanya mengandalkan meeting untuk memantau progress. Tanpa dashboard atau laporan kerja otomatis, rapat menjadi satu-satunya cara untuk mengetahui sejauh mana pekerjaan berjalan. Inilah mengapa frekuensinya bisa terjadi terlalu sering.

Padahal, sekarang sudah banyak aplikasi manajemen kerja yang bisa bantu tim tetap update tanpa harus meeting terus-menerus. Tools seperti Trello, Notion, atau Monday bisa memberikan gambaran real-time tentang progress kerja. Dengan begitu, tim bisa lebih fokus mengerjakan tugas utama tanpa terganggu rapat yang tidak mendesak.

Meeting memang penting, tapi kalau terlalu sering tanpa hasil konkret, justru bisa bikin tim kelelahan dan kehilangan fokus. Daripada terus-terusan adakan pertemuan, ada baiknya kantor mulai mengevaluasi sistem kerja dan komunikasi internalnya. Bekerja lebih cerdas, bukan sekadar lebih sering rapat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team