Ilustrasi bekerja (pexels.com/Fox)
Kalau kamu berkerja di lingkungan kantor yang amat toxic dan kebetulan kamu masih belum menikah, maka kamu pasti sering dijadikan 'ban serep' alias sasaran untuk menggantikan pekerjaan rekan kantormu ataupun atasanmu. Ironisnya, sering kali pekerjaan rekan kantormu itu belum terselesaikan dengan alasan karena sedang banyak 'urusan keluarga'.
Tidak apa-apa jika misalkan rekan kantormu yang belum menyelesaikan pekerjaanya dikarenakan izin sesuai dengan aturan perusahaan/instansi untuk urusan keluarga yang memang sudah diatur, misalkana karena harus merawat istri yang sedang hamil, melahirkan, sakit atau sedang berduka cita.
Kacaunya, sering kali urusan keluarga hanya dijadikan tameng untuk menormalisasi keterlambatan datang ke kantor ataupun sebagai penyebab seorang karyawan belum bisa menyelesaikan pekerjaannya.
Karyawan lajang pun sering dipaksa memaklumi atau menormalisasi hal tersebut, "Kamu belum menikah, sih. Kalau sudah menikah pasti kamu paham. Kamu enak bisa fokus bekerja makanya kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu, kalau aku kan pulang kantor udah harus mikirin mau masak apa, PR anak gimana."
Harusnya budaya kantor tidak boleh menormalisasi kurang bertanggungjawabnya karyawan terhadap pekerjaan dengan asalan urusan keluarga. Karena ketika memutuskan untuk berkeluarga sekaligus juga bekerja seharusnya yang bersangkutan sudah harus mawas diri terhadap pilihan tanggung jawab di dua ranah tersebut.
Nah, gimana? Sekarang kamu sudah sadar belum, bahwa diskriminasi berdasarkan status perkawinan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat diterima. Karyawan memiliki hak untuk diperlakukan adil dan setara, terlepas dari status perkawinan mereka. Semoga budaya kantor yang buruk ini tidak lestari dan berhenti di generasi kita, ya!