#MahakaryaAyahIbu: 4 Alasan untuk Tidak Meremehkan Kekuatan Cinta Ayah dan Ibu

2009 adalah tahun yang paling bersejarah buat keluargaku. Konon katanya, setiap keluarga pasti punya hal atau kejadian yang dapat jadi turning point kehidupan rumah tangga tersebut. Begitu pun keluargaku.
Umar, adikku, lahir secara normal. Namun keadaannya di luar dugaan. Umar mulai menunjukkan tanda-tanda spesial dalam dirinya. Ia dinyatakan seorang penyadang autisme sejak usianya mencapai 3 tahun.
Sejatinya, perasaan kami kala itu bagai ditimpa bangunan roboh. Kami sangat terpukul. Lalu suatu hari, aku melihat sebuah rumah yang direnovasi. Aku bertanya-tanya dalam hatiku,
Kalau sebuah rumah saja bisa dibuat jadi lebih baik, apalagi keaadaan keluargaku?
Kemudian kami pun sadar bahwa sudah saatnya untuk bangkit. Kami bangkit atas dorongan semangat dari bidadari rumah kami, yaitu ibuku. Sebuah yayasan pun kami rintis demi masa depan Umar yang gemilang.
Hari ini, hampir tahun sejak Yayasan Cinta Sahabat Spesial lahir. Setelah mengalami asam garam dan lika-liku dalam memperjuangkan apa yag kami bangun dari fondasinya, aku sadar suatu hal. Ternyata, bukan super power, atau sihir, atau hal lain lah yang membuat kami bisa bertahan sejauh ini.
Melainkan cinta.
Cinta Ayah dan Ibu Adalah Sumber Kekuatan
Tentu saja aku sendiri punya kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan sebagai anak dan pelajar. Aku belajar dan di sela-sela itu, aku membantu orang tua menjaga dan mengawasi adik-adikku, tak terkecuali Umar.
Mudah? Tidak. Hampir tak terhitung berapa kali aku harus menahan marah tatkala ia berbuat onar, atau merusak tugas sekolah yang sudah susah payah kubuat. Aku harus menanggung tatapan aneh dari orang-orang pula tiap kali aku pergi ke tempat umum bersama Umar.
Namun wajah ibuku tidak pernah berubah. Tatapannya kepada Umar dan anak-anaknya masih sama. Di saat yang sama, aku berpikir, mengapa ia bisa memberikan cintanya dikala Umar terlampau 'aneh'? Aku juga bertanya pada Ayahku suatu ketika, apakah ia lelah. Dia jawab,"Ya, tentu aku lelah".
Diriku yang kala itu masih berusia 10 tahun balik bertanya lagi, "Lantas, kenapa ayah tak berhenti bekerja? Ayah kan capek tiap malam terjaga. Oh, makanan itu. Kenapa ayah tak memakannya saja? Ayah nggak lapar? Kenapa malah dibawa pulang ke rumah?"
Dia malah tersenyum sambil menaruh makanan yang tadi ia bawa di tangannya,"Karena ayah sayang sama anak-anak ayah".
Jawabannya sederhana, tetapi melekat dalam lubuk hatiku bagai bekas pahatan paku.