Sebelum karyawan di berbagai bidang menggunakan istilah burnout sebagai tanda kelelahan kerja, kita kembali pada tahun 1974, di mana istilah burnout pertama kali dicetuskan pada eksperimen untuk petugas medis. Eksperimen ini ingin melihat para tenaga medis seperti dokter, perawat, dan psikolog yang terus-menerus bekerja dengan pasien.
Seiring dengan berjalannya waktu, istilah burnout merambah pada pekerjaan non medis serta meluas pada industri lain. Burnout juga menyasar pada bidang pendidikan dan keluarga.
"Definisi burnout merujuk pada motivasi yang hilang, pengabdian individu yang gagal karena tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Social worker itu kan mengabdi, tapi rasanya tujuan awal sudah hilang dan motivasi sudah terkikis. Kerja tidak semangat, rasanya overwhelm, kemudian berkembang burnout," jelas Samanta.
Burnout memiliki beberapa kriteria yang salah satunya adalah high emotional exhausted, saat kelelahan sudah melebihi dari fatigue. Kemudian ada low personal efficacy, di mana kita merasa gak mampu lagi seperti ada pikiran 'kayaknya aku gak bisa deh menyelesaikan pekerjaan ini'.
Lalu, terakhir feeling of negativism or cynism, yang mana ketika kita mudah nyinyir terhadap segala hal. Pikiran mulai bercabang seperti mau liburan atau merindukan bekerja di kantor saat WFH, serta gak fokus sama apa yang dikerjakan saat itu.