Acara "Paragonian Bergerak" pada Minggu (12/10/2025) di Tanjung Burung, Teluk Naga. (IDN Times/Febriyanti Revitasari)
Segera saja kami mengantre untuk mengambil life jacket dan sepatu bot sebagai prosedur keamanan. Lantas, dengan mengantre, kami menuju dermaga dari kayu bambu. Dua kapal digunakan sehingga kami perlu melompati kapal 1 ke kapal 2 yang berjejer. Setelah semua naik dan mendapatkan posisi duduk yang nyaman, operator kapal menyalakan mesinnya dan kami berlayar. Di satu sudut, mereka mengambil selfie dengan latar kapal dan perairan.
Sepanjang kiri-kanan, kami mendapati beberapa mangrove sudah tumbuh tinggi dan mengakar kuat. Barangkali, mereka-mereka ini juga bermula dari bibit kecil seperti yang akan kutanam nanti. Setelah sekian tahun, mereka tumbuh pesat dan akarnya jadi sarang ikan-ikan hingga udang yang jadi sumber mata pencaharian penduduk sekitar. Ah, membayangkannya saja, hatiku tersenyum membayangkan kebermanfaatan dari acara ini.
Kupikir, kapal kayu ini akan melaju jauh. Rupanya masih dalam satu garis aliran air saja rutenya. Namun, kami sudah mencapai tepi pantai terluarnya. Kami langsung turun di dermaga, melepas life jacket, dan menerima karung-karung yang akan digunakan untuk mengumpulkan sampah. Ya, agenda pertama kami adalah mengumpulkan sampah terlebih dahulu.
Rombongan mulai menyebar. Satu per satu Paragonian mulai mengambil posisi jongkok, ada pula yang membungkuk. Sampah-sampah berupa daun, plastik, hingga kayu mereka punguti satu per satu. Di satu sisi, ada yang kaget saat melihat hewan laut yang sudah mati ditemukan. Bentuknya unik karena punya ekor sekaku ikan pari dan bertempurung di sisi atas badannya. Aku familier dengan hewan itu, akan tetapi tidak mengerti namanya.
Ketika dicari di Google, namanya Belangkas. Rupanya, Pemerintah Indonesia telah memasukkan tiga spesies belangkas dalam daftar satwa yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20 Tahun 2018. Secara tidak langsung, kami jadi belajar hal baru. Kami tahu bahwa ada spesies seperti itu di Indonesia.
Setelah dirasa cukup bersih dari sampah, satu per satu Paragonian mendapat distribusi bibit mangrove. Saat masih di tenda, mereka juga diberikan ties dan lembar berisi nama mereka. Lembaran itu juga berisi harapan agar tumbuhan mangrove bisa tumbuh dan bermanfaat bagi ekosistem bumi.
Paragonian lalu berjalan ke arah air dan membuat barisan berdasarkan batang bambu yang sudah disusun. Setelah mengikuti arahan untuk dokumentasi, satu per satu mulai "berkarya". Mereka mengikat lembar tadi dengan ties ke batang mangrove. Lalu, batang mangrove kembali diikat ke bambu agar tidak terombang-ambing ke lautan lepas. Aku memilih spot di dermaga. Ada ceruk untuk meletakkan bibit. Kutinggalkan bibit dengan namaku di sana.
Terlihat beberapa Paragonian mengabadikan bibit yang tertanam dengan namanya. Harapannya, tumbuhan itu bisa jadi kenang-kenangan. Beberapa tahun kemudian bibit itu menjadi pohon rindang, mereka boleh bahagia dan bangga.
Sebagian lagi penuh gelak tawa. Ada yang terjerembab pasir pantai dan tubuhnya terbenam air hingga ke dada. Ada pula yang meminta temannya difoto oleh kawannya selagi ia ada di sana. Mungkin, setelah momen ini usai, belum tentu ia bisa kembali lagi ke tempat yang sama dan menyaksikan bagaimana bibit miliknya tumbuh.