Ibu dan anak perempuannya sering dipotret sebagai duo tak terpisahkan. Kompak, harmonis, dan saling mengerti adalah stigma yang melekat pada hubungan keduanya. Padahal dalam kehidupan nyata, tidak semua orang mengalami hal yang sesempurna itu. Sebagian ibu dan anak perempuan bisa saja berkonflik atau bersitegang.
Hal ini diungkap pula lewat penelitian terapis sekaligus penulis bernama Rosjke Hasseldine di beberapa negara, baik yang masih memegang kuat tatanan patriarki maupun yang telah menganut kesetaraan gender. Tulisannya, "Uncovering the Root Cause of Mother-Daughter Conflict", yang dipublikasikan American Counseling Association merangkum bahwa kebanyakan konflik antara ibu dan anak perempuan terjadi karena konstruksi sosial, tepatnya tekanan dan represi dari luar.
Ini membuat perempuan yang akhirnya menjadi ibu tidak mampu mengekspresikan apa yang ia inginkan. Akibatnya, mereka sering menggunakan pendekatan pasif-agresif, seperti menyindir dan guilt-trip, kepada anak-anaknya.
Bisa juga seorang ibu yang dikekang sejak muda tidak bisa menerima, bahkan iri terhadap perubahan yang membuat anak perempuan mereka punya lebih banyak pilihan pada era sekarang. Anak perempuan juga cenderung diharapkan untuk mengabdi kepada keluarga. Kontras dengan anak laki-laki yang dibebaskan berkarier tinggi-tinggi.
Hubungan ibu dan anak perempuan ternyata cukup sering diangkat dalam berbagai produk budaya, termasuk dalam karya sastra. Coba baca yuk, buat memperluas wawasan dan mempertajam empatimu.