Ilustrasi menikah (pexels.com/Anderson Santo)
Setiap perkawinan Katolik, meski hanya satu calon yang Katolik, telah diatur oleh tiga hukum, yaitu hukum ilahi, hukum kanonik, dan hukum sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia yang berasal dari Allah sendiri.
Hukum kanonik atau hukum gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh gereja, yang bersifat gerejawi. Dengan demikian hukum ini hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja. Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah yang bersangkutan. Misalnya hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dsb.
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak, maka orang non Katolik yang menikah dengan orang Katolik juga terikat oleh hukum gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan umatnya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik dan ilahi.
Karena bersifat gerejawi, maka negara tidak mempunyai hak apa pun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil hanya bertugas mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.
Jadi, kanonik adalah persiapan wajib yang harus dilakukan umat Katolik sebelum menikah. Biasanya akan dilakukan seperti kelas tentang kehidupan pernikahan hingga wawancara dengan romo maupun pastor secara pribadi.