Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi merasa kurang bersemangat
ilustrasi merasa kurang bersemangat (pexels.com/ RDNE Stock project)

Intinya sih...

  • Buku tebal terlihat mengintimidasi sejak pandangan pertama

  • Ketakutan akan waktu yang harus diinvestasikan

  • Takut terjebak dalam cerita

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Buku tebal itu memang punya daya tarik sendiri: kelihatan keren di rak, tulisannya biasanya lebih dalam, dan kadang bikin kita merasa makin intelektual cuma dengan megangnya. Tapi realitanya? Banyak dari kita yang ujung-ujungnya cuma baca sampai bab tiga, lalu buku itu berubah jadi pajangan estetik di kamar.

Wajar banget sih, buku tebal sering datang dengan komitmen waktu yang gak main-main, bikin otak udah capek duluan sebelum mulai. Belum lagi kesibukan sehari-hari yang bikin fokus gampang buyar, akhirnya keinginan baca tinggal niat doang. Nah, berikut ini lima alasan kenapa buku tebal kadang bikin kita mager buat baca sampai selesai.

1. Terlihat mengintimidasi sejak pandangan pertama

ilustrasi merasa terintimidasi (pexels.com/Mikhail Nilov)

Buku yang tebal sering menciptakan kesan bahwa isinya rumit atau berat, bahkan sebelum dibuka. Tumpukan halaman yang menggunung membuat banyak orang merasa seolah mereka sedang berhadapan dengan proyek besar yang membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. Efek psikologis ini membuat pembaca merasa kewalahan karena membayangkan perjalanan panjang yang harus ditempuh.

Selain itu, ketebalan buku sering diasosiasikan dengan “komitmen jangka panjang” sehingga orang takut tidak bisa menyelesaikannya. Bayangan membaca berhari-hari atau berminggu-minggu membuat motivasi merosot sebelum sempat memulai. Akibatnya, buku tebal mudah tergeser oleh alternatif hiburan lain yang tampak lebih cepat dan ringan.

2. Ketakutan akan waktu yang harus diinvestasikan

ilustrasi merasa stres (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Membaca buku tebal berarti mengalokasikan waktu yang cukup besar, dan di era serba cepat sekarang, itu terasa seperti beban. Banyak orang lebih memilih aktivitas yang hasilnya lebih instan, misalnya video pendek, artikel singkat, atau serial dengan durasi cepat. Buku tebal seolah menuntut kita untuk berhenti sejenak dan benar-benar fokus, sesuatu yang semakin jarang dilakukan.

Ditambah lagi, jadwal harian yang padat membuat sebagian orang merasa tidak punya ruang untuk membaca dengan santai. Ketika melihat buku dengan ratusan halaman, mereka langsung merasa waktu mereka tidak cukup. Padahal, membaca bisa dilakukan sedikit demi sedikit namun rasa takut akan komitmen waktu sering kali lebih dominan.

3. Takut terjebak dalam cerita

ilustrasi sedang membaca buku (pexels.com/Alex Dos Santos)

Banyak pembaca khawatir cerita dalam buku tebal akan berlangsung lambat dan membutuhkan kesabaran panjang untuk terasa menarik. Ada buku-buku yang memang butuh ratusan halaman untuk membangun dunia atau konflik, dan ini bisa membuat orang ragu untuk memulai. Mereka takut kecewa setelah menghabiskan banyak waktu namun tidak mendapatkan alur yang memuaskan.

Selain itu, keengganan ini muncul karena pengalaman masa lalu dengan buku tebal yang sulit dinikmati. Jika sebelumnya pernah membaca buku tebal yang terasa melelahkan, persepsi itu biasanya melekat. Akhirnya, setiap melihat buku besar, otak otomatis mengingat pengalaman kurang menyenangkan itu.

4. Sulit dibawa dan dibaca di banyak situasi

ilustrasi membawa buku (pexels.com/Yaroslav Shuraev)

Buku tebal biasanya berat dan tidak praktis dibawa ke mana-mana. Untuk pembaca yang suka membaca di perjalanan, di kafe, atau saat menunggu, buku tebal terasa ribet. Membaca sambil memegang buku yang berat bisa cepat membuat tangan pegal, dan itu saja sudah cukup untuk membuat orang malas.

Selain itu, ukuran besar membuat buku tidak fleksibel dibaca dalam berbagai posisi. Membacanya di ranjang, misalnya, bisa merepotkan. Bahkan hanya membawanya di tas pun bisa menghabiskan banyak ruang. Hal-hal kecil ini menambah alasan kenapa banyak orang lebih memilih buku tipis atau versi digital.

5. Rasa takut tidak menyelesaikan bacaan

ilustrasi merasa tidak bisa menyelesaikan bacaan (pexels.com/Karola G)

Harapan untuk menyelesaikan sebuah buku kadang justru menjadi sumber stres. Ketika melihat buku tebal, banyak orang khawatir mereka akan berhenti di tengah jalan. Perasaan gagal menyelesaikan bacaan sebelumnya juga bisa memicu rasa malas saat melihat buku tebal lain. Ketakutan ini membuat orang lebih memilih buku yang ringan agar lebih mudah dituntaskan.

Secara psikologis, menyelesaikan sesuatu memberi rasa puas, sementara tidak menyelesaikannya bisa menimbulkan rasa bersalah. Buku tebal berisiko besar menimbulkan perasaan “gak kelar-kelar,” sehingga orang memilih menghindarinya demi menjaga mood dan motivasi. Padahal, kalau dinikmati sedikit demi sedikit, buku tebal bisa sangat memuaskan.

Pada akhirnya, buku tebal bukanlah musuh hanya terlihat menakutkan di permukaan. Jika kita berani membuka halaman pertama dan menikmati ceritanya perlahan, sering kali justru di sanalah petualangan terbaik berada. Jadi, jangan biarkan ketebalan buku menghentikanmu; siapa tahu, halaman-halaman itulah yang akan membuka sudut pandang baru yang tidak pernah kamu duga.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team