Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang penyelam yang sedang menyelam di dalam laut (pixabay.com/tuturgires)
ilustrasi seorang penyelam yang sedang menyelam di dalam laut (pixabay.com/tuturgires)

Intinya sih...

  • Laut tak cukup dijelaskan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia
  • Guru bisa mengajak siswa mempelajari gelombang laut dan arus laut secara langsung
  • Literasi laut akan membuka cakrawala sains, teknologi, energi, dan iklim global bagi siswa

Indonesia punya 17 ribu pulau dan lebih dari 70 persen wilayahnya berupa lautan, tetapi berapa banyak anak sekolah yang belajar tentang laut lewat kurikulum pendidikan? Sayangnya, mata pelajaran kelautan seperti "anak tiri" yang jadi sempalan dalam garis besar sains di sekolah. Bahkan, kerap kali anggapan buruk berbaur mitos diselewengkan—pesona mistis laut yang belum dikuak dalam pelajaran sains sendiri—sayangnya masih jarang untuk dijamah. Padahal, sains dan laut adalah pasangan ideal. Keduanya bicara tentang gerak, energi, dan harmoni alam. Inilah lima alasan literasi laut harus masuk kurikulum pendidikan di sekolah, khususnya pada pelajaran sains. 

Selama ini pembelajaran sains di sekolah kerap terpaku pada contoh-contoh yang jauh dari keseharian, seperti lintasan peluru, bidang miring, atau hukum Newton yang hanya hidup di kertas soal. Padahal, ombak yang bergulung, arus laut yang mengalir, bahkan gema suara paus di kedalaman, semuanya bisa dijelaskan lewat hukum fisika yang nyata dan dekat dengan kehidupan. Oleh sebab, literasi laut harus dikenal lebih luas terutama sejak dini di sekolahan. Berikut ini beberapa alasan literasi laut harus masuk kurikulum pendidikan. 

1. Gelombang laut adalah gelombang mekanik yang hidup dan nyata

Ilustrasi gelombang mekanik yang nyata dari laut (pexels.com/Emiliano Arano)

Gelombang laut adalah contoh paling nyata dari gelombang mekanik. Ketimbang hanya menggoyangkan tali di laboratorium, guru bisa mengajak siswa mengamati atau mempelajari video ombak laut dan menurunkannya jadi rumus. Konsep panjang gelombang, amplitudo, hingga interferensi bisa dijelaskan dengan mengamati fenomena laut.

Melihat laut yang 'memukul' pantai atau menyapu batu karang jauh lebih membekas daripada grafik sinus di papan tulis. Laut menjadi medium belajar yang tak hanya logis tapi juga estetis. Sains berubah dari hafalan kaku menjadi pengalaman multisensorial yang menggerakkan rasa ingin tahu.

2. Arus laut bisa menjelaskan hukum Newton lebih mudah

Ilustrasi kapal membelah lautan di tengah arus laut (pexels.com/Ollie Craig)

Arus laut adalah ilustrasi alami dari hukum Newton, khususnya hukum pertama dan kedua. Ketika air bergerak karena perbedaan tekanan atau suhu, kita bisa menjelaskan bagaimana gaya bekerja pada massa air dan menyebabkan percepatan. Bayangkan kita tengah mengamati arus Kuroshio atau arus Lintas Indonesia (Arlindo), lalu membedahnya dengan rumus Newton.

Selain itu, fenomena arus dapat dikaitkan dengan prinsip aksi–reaksi. Ketika sebuah kapal kecil melawan arus, atau saat tubuh manusia bergerak di dalam air, terjadi interaksi gaya yang bisa dirasakan langsung. Ini membuat teori Newton tak lagi melayang di angkasa, tapi mengakar kuat di samudra.

3. Laut membuka jalan ke energi terbarukan, sains jadi solusi masa depan

Ilustrasi belajar dengan pendekatan STEM menggunakan objek laut (pexels.com/Tien Nguyen)

Energi gelombang, arus laut, dan pasang surut adalah sumber daya besar yang masih belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dengan memperkenalkan literasi laut dalam pelajaran sains, siswa dapat memahami bagaimana konversi energi mekanik dari laut menjadi listrik dapat dilakukan. Ini membuka cakrawala bahwa sains bukan sekadar teori dan formula belaka, melainkan alat untuk menciptakan teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Pembelajaran ini juga dapat mengintegrasikan pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), karena menuntut siswa berpikir kritis, membuat model, dan mencari solusi. Selain itu, mereka bisa diarahkan pada isu energi dan perubahan iklim secara kontekstual, menjadikan kelas sains sebagai ladang tumbuhnya calon inovator hijau Indonesia.

4. Fenomena laut bantu siswa pahami termodinamika dan suhu

Ilustrasi perubahan suhu mendadak di pinggir laut (pexels.com/George Desipris)

Laut adalah penyimpan energi panas terbesar di Bumi. Melalui pemahaman tentang kalor jenis air laut, siswa bisa mengerti mengapa suhu laut lebih stabil dari daratan dan bagaimana laut memengaruhi iklim global. Konsep perpindahan panas—konduksi, konveksi, dan radiasi—juga bisa dijelaskan lewat proses yang terjadi di laut dalam.

Misalnya, fenomena El Niño dan La Niña bisa digunakan sebagai studi kasus nyata bagaimana perubahan suhu permukaan laut memengaruhi cuaca di berbagai belahan dunia. Dengan begini, termodinamika tak lagi sekadar tentang logam panas dan es yang mencair, tapi tentang bagaimana laut menjadi dapur raksasa yang mengatur suhu planet.

5. Meningkatkan kepedulian ekologis lewat sains yang membumi

Ilustrasi pengajaran pada anak-anak tentang kepedulian terhadap ekologi bahari (pexels.com/Ron Lach)

Pelajaran sains selama ini sering dianggap jauh dari kehidupan nyata. Dengan membawa laut ke dalam kelas, siswa akan melihat bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya soal rumus, tapi juga tentang hidup berdampingan dengan alam. Mereka belajar bahwa memahami laut secara sains; juga berarti mengerti cara menjaga laut agar tetap lestari.

Ketika siswa menyadari pentingnya laut dari sisi ilmiah, mereka pun bisa menjadi generasi yang lebih peduli pada ekosistem. Oleh sebab itu, literasi laut harus masuk kurikulum pendidikan. Literasi laut bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga kesadaran ekologis. Dari pelajaran sains yang membumi ini, kita bisa menumbuhkan cinta tanah air yang sebenar-benarnya; mencintai dan tidak memunggungi laut adalah bagian dari diri bangsa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team