Bali atau yang sering dikenal dengan "Pulau Dewata" penuh dengan tradisi yang kental dan selalu disungguhkan dengan semerbak dupa di setiap pagi. Melalui ajaran umat Hindu yaitu “Tri Hita Karana” yang memiliki makna menjaga hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan lingkungan, serta menjaga keharmonisan dengan sesama umat manusia, hal ini membatu masyarakat Bali dalam mengelola alam dengan kearifan lokalnya. Melalui landasan ini, penerapan aturan adat sudah diberlakukan guna menjaga alam bali dari segala pengrusakan (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali). Namun, di balik keindahan dan banyak upaya dalam menjaga keasrian alam, ada bisikan pilu yang masih menjadi tantangan tidak hanya di satu daerah, tapi dihampir seluruh Indonesia, yaitu sampah.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia masih menghasilkan sekitar 68,7 juta ton sampah per tahun dengan komposisi terbesar datang dari sampah organik, khususnya sampah sisa makanan yang mencapai 41,27% (Monika, 2024). Sampah-sampah sisa makanan, daun-daunan, dan limbah dapur ini, yang seharusnya mudah terurai dan kembali ke bumi sebagai nutrisi, justru menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa terkelola dengan baik. Mereka membusuk, menghasilkan gas metana yang merusak lapisan ozon, mencemari tanah dan air, serta menjadi sarang penyakit. Alih-alih menjadi pupuk kehidupan, secara perlahan namun pasti mereka menjelma menjadi racun yang menggerogoti.
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di berbagai daerah, termasuk di Bali, telah mencapai atau bahkan melebihi kapasitasnya. Menurut Sumber dari Kumparan News tahun 2025, TPA Suwung di Denpasar yang berulang kali menghadapi masalah kelebihan muatan dan penutupan sementara, menyebabkan penumpukan sampah di kota-kota sekitarnya. Tidak hanya itu, menurut berita dari Bali Portal News tahun 2024, TPA Butus di Karangasem dilaporkan telah terisi hingga 95% dari kapasitasnya. Krisis TPA yang penuh ini bukan lagi sekadar ancaman, melainkan kenyataan pahit yang mengancam kesehatan masyarakat dan kelangsungan ekosistem.
Sekolah, sebagai miniatur masyarakat dan garda terdepan pembentukan karakter, memiliki peran dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sering kali Pendidikan lingkungan hidup hanya terhenti di ruang kelas, jauh dari sentuhan tanah dan bau kompos. Padahal, benih kesadaran lingkungan harus ditabur dan disiram setiap hari. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, pemakaian energi yang boros, atau minimnya inisiatif dalam mengelola limbah, adalah bukti bahwa kita belum sepenuhnya menghayati makna Tri Hita Karana dalam konteks modern.
Di tengah tantangan besar ini, lahirlah sebuah inisiatif bernama JAKABA (Jamur Karya Sukarba). Jamur olahan berbahan sampah organik yang memiliki warna berbeda dengan JAKABA yang sudah dikenal masyarakat luas, jamur temuan bapak Sukarba ini memiliki warna khas yaitu merah pekat serta memiliki manfaat untuk menyuburkan tanah. Ini bukan sekadar nama, melainkan wujud nyata dari kepedulian mendalam terhadap masa depan, yang digagas oleh seorang pahlawan lingkungan yaitu Bapak Wayan Sukarba tinggal di Karangasem, Bali yang percaya pada kekuatan transformasi.
JAKABA hadir sebagai pusat inovasi dan aksi nyata pengolahan sampah organik, sebuah markas tempat perubahan dimulai. Di sinilah, sampah-sampah organik dapur dari rumah tangga dan komunitas sekitar tidak lagi berakhir di TPA, melainkan dikumpulkan dan diolah secara terpadu. Melalui proses yang ramah lingkungan dan bebas polusi, limbah organik ini menjelma menjadi pupuk berkualitas tinggi yang tidak hanya menghidupkan kembali kesuburan tanah untuk budidaya tanaman, tetapi juga membuka peluang ekonomi melalui budi daya.
Tak berhenti di markas, JAKABA merangkul anak muda dan seluruh elemen masyarakat melalui berbagai program inovatifnya. Dimulai dari peran sebagai fasilitator pengolahan sampah di sekolah, bapak Sukarba memperkenalkan metode sederhana namun efektif seperti pembuatan eco-enzym dan pupuk kompos, hingga tata cara pembuatan JAKABA. Proses pengolahannya tak sulit, dengan memasukkan seluruh sampah organik seperti sayur, buah-buahan ke dalam wadah dan ditunggu beberapa hari hingga menghasilkan cairan pupuk yang siap digunakan. Lebih dari itu, JAKABA mendukung pengolahan sampah organik di kebun-kebun pribadi, mendorong kemandirian pangan dan menciptakan nilai tambah dari setiap limbah yang terpilah guna merangkul generasi muda dalam bersama-sama menjadi pahlawan bagi lingkungan.
Melalui pendekatan inovatif ini, JAKABA berkontribusi nyata dalam mengubah paradigma pengelolaan sampah, dari sekadar menumpuk menjadi mengolah, dari masalah menjadi berkah. Kita percaya bahwa setiap tangan yang memilah, setiap upaya yang mengolah terinspirasi dan diwadahi oleh gerakan seperti JAKABA adalah investasi berharga untuk mengembalikan kehijauan Bali, menjaga kemurnian Pulau Dewata, dan mewariskan bumi yang lestari bagi anak cucu kita. Sudah saatnya kita bergerak, karena masa depan bumi dan generasi penerus ada di tangan kita hari ini.