IDN Times Xplore/EARTHGUARD_SMAN 1 DARUL IMARAH
Beberapa tahun terakhir, tanda-tanda kerusakan lingkungan semakin mudah kita lihat, bahkan tanpa harus menonton berita. Di banyak kota, hujan deras bisa datang tiba-tiba dan langsung memicu banjir, sementara musim kemarau terasa lebih panjang dan panas. Data BMKG menunjukkan bahwa suhu rata-rata Indonesia terus naik sekitar 0,03ยฐC tiap dekade, dan pola cuaca jadi makin sulit diprediksi.
Di sekitar sekolah, masalah lingkungan juga terlihat jelas. Sampah plastik dari kantin menumpuk setiap hari. Lampu dan pendingin ruangan kadang dibiarkan menyala meski kelas kosong. Ruang hijau yang seharusnya bisa menjadi tempat belajar malah jarang digunakan. Ini bukan hanya masalah kebiasaan, tapi juga sistemโsekolah belum sepenuhnya menerapkan pengelolaan energi dan sampah yang konsisten.
Satu hal yang jarang dibicarakan adalah polusi udara di sekitar sekolah. Di pagi hari, jalanan penuh kendaraan yang mengantar siswa, dan asapnya bercampur dengan debu jalanan. Kalau ventilasi kelas kurang baik, udara kotor itu masuk ke ruangan. Hasilnya, siswa lebih mudah lelah, sulit fokus, dan ada yang terkena batuk atau ISPA. Menurut laporan IQAir 2024, beberapa kota besar di Indonesia bahkan sering berada di kategori kualitas udara โtidak sehatโ. Seperti di Aceh tempat kami berada, polusi udara tidak hanya berasal dari lalu lintas, tetapi juga dari pembakaran sampah dan aktivitas industri kecil di sekitar permukiman. Di beberapa wilayah, terutama saat musim kemarau, kebiasaan membakar sampah menjadi sumber asap yang pekat dan bertahan berjam-jam, mengganggu kegiatan belajar di sekolah.
Masalah lingkungan lain yang cukup menonjol di Aceh adalah banjir lokal akibat saluran drainase yang tersumbat sampah. Beberapa sekolah pernah harus meliburkan siswa karena halaman tergenang air hujan selama berhari-hari. Situasi ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan bukan hanya urusan โalamโ semata, tetapi juga perilaku manusia dan tata kelola lingkungan di tingkat lokal.
Di sisi lain, kita sebenarnya punya modal besar: generasi sekolah sekarang adalah generasi digital. Hampir semua siswa terbiasa memakai ponsel, internet, dan media sosial. Sayangnya, kemampuan digital ini sering hanya dipakai untuk hiburan. Padahal, kalau diarahkan untuk aksi lingkungan, hasilnya bisa jauh lebih efektif. Misalnya, membuat sistem pencatatan volume sampah sekolah lewat aplikasi, memasang sensor untuk memantau penggunaan listrik atau kualitas udara, atau mengunggah konten edukasi yang bisa dilihat ribuan orang.
Bayangkan kalau setiap sekolah di Aceh memiliki papan informasi digital yang menampilkan data penggunaan listrik, jumlah sampah yang dihasilkan per minggu, atau kualitas udara terkini. Siswa tidak hanya belajar teori lingkungan dari buku, tapi juga melihat langsung data yang mereka kumpulkan dan menganalisisnya untuk mencari solusi. Dengan cara ini, teknologi tidak hanya menjadi alat, tetapi bagian dari budaya sekolah yang sadar lingkungan.
Kalau teknologi dan edukasi dipadukan, aksi hijau tidak akan berhenti di acara tahunan seperti โpenanaman pohonโ yang kadang hanya simbolis. Kita bisa membangun sistem berbasis data yang terus berjalan, di mana siswa ikut mengawasi dan terlibat langsung. Sekolah bisa menjadi pusat perubahan nyata, dan itu dimulai dari langkah kecil yang dilakukan setiap hari.