IDN Times Xplore/M2DC_Methodist-2 Medan
Sekolah adalah rumah belajar, tempat kita ditempa dengan aneka pengetahuan dan pengalaman. Hari-hari dihiasi aktivitas dan interaksi bersama teman, guru, dan lingkungan sekitar. Dari sekian banyak hari, pernahkah kita menyadari betapa ramainya warga sekolah yang silih berganti beraktivitas di sekolah? Dan berapa banyak sampah yang tercipta? Dari bungkus makanan minuman hingga kertas-kertas yang tertumpuk begitu saja. Lalu kemana kah sampah-sampah itu berakhir?
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional 2024, dari 34 juta ton timbunan sampah, terdapat lebih dari 18 juta ton sampah yang tidak terkelola dan berakhir di TPA begitu saja. Karena itu, sekolah berperan penting menggalakkan program pengelolaan sampah kepada seluruh warga sekolah, baik peserta didik, guru, dan staf. Hal mendasar dapat dimulai dari peningkatan dan pemerataan kesadaran individu, seperti membiasakan diri memilah sampah organik dan anorganik.
Sampah bukanlah beban, melainkan peluang ekonomi. Misalnya saja sampah organik seperti sisa makanan maupun daun kering dapat dijadikan kompos dan eco-enzyme. Sementara sampah anorganik seperti kertas, plastik, dan logam dapat dijual atau bahkan didonasikan ke depo-depo daur ulang. Keuntungan yang diperoleh pun dapat digunakan dalam mendukung peningkatan keasrian dan kebersihan sekolah. Dalam hal ini, sekolah perlu mendukung dengan menyediakan tempat sampah yang memadai, mudah diakses, tertata rapi, dan diberi label jelas untuk setiap jenis sampah. Dengan demikian, siswa pun terdorong untuk membuang sampah pada tempatnya.
Salah satu inovasi yang patut dikembangkan di sekolah adalah pemanfaatan eco- enzyme. Eco-enzyme adalah larutan organik hasil fermentasi sampah organik seperti kulit buah dan sayuran, gula (gula merah, gula tebu, atau molase), dan air. Proses pembuatannya relatif sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Eco-enzyme memiliki beragam manfaat, mulai dari membersihkan lingkungan, menjadi pupuk alami untuk tanaman, hingga bahan dasar pembuatan produk rumah tangga yang ramah lingkungan.
Di sekolah, program eco-enzyme dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa dapat diajak untuk mengumpulkan sampah organik dari lingkungan sekolah dan rumah masing-masing. Kemudian, mereka dapat belajar membuat eco-enzyme secara langsung, mulai dari proses pencampuran bahan hingga pemantauan fermentasi. Hasil eco-enzyme dapat dimanfaatkan untuk membersihkan toilet sekolah, menyiram tanaman di kebun sekolah, atau bahkan dijual kepada masyarakat sekitar sebagai produk unggulan sekolah.
Selain itu, sekolah juga dapat mengadakan pelatihan pembuatan eco-enzyme bagi guru dan staf. Dengan demikian, seluruh warga sekolah dapat terlibat aktif dalam program ini dan merasakan manfaatnya secara langsung. Melalui program eco-enzyme, sekolah tidak hanya mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA, tetapi juga menghasilkan produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.
Selain itu, warga sekolah juga perlu memahami konsep 5R yakni Rethink, Reduce, Reuse, Repair, dan Recycle. Kita harus bijak menentukan mana kebutuhan dan keinginan sehingga berpikir kembali (rethink) sebelum impulsif membeli barang. Kita juga perlu meminimalisasikan penggunaan barang sekali pakai (reduce) dengan membawa botol minum sendiri. Kita perlu menggunakan kembali barang (reuse) agar tidak terbuang sia-sia, seperti pemanfaatan galon air menjadi pot. Perlu pula mengasah kreativitas dalam memperbaiki barang agar bisa digunakan kembali (repair), seperti menjahit baju yang sedikit robek. Ini berfungsi memperpanjang fungsi barang, karena limbah tekstil juga menjadi masalah cukup serius akhir-akhir ini. Upaya terakhir adalah recycle atau daur ulang.
Bayangkan jika setiap individu konsisten memilah dan menerapkan 5R, berapa banyak sampah yang bisa kita kurangi dan olah kembali? Karena itu, edukasi berkelanjutan sangatlah penting. Sekolah perlu secara aktif menyuarakan perlunya pengelolaan sampah. Bukan hanya sekedar pengumuman secara lisan atau kegiatan satu kali, tetapi dapat mengadakan workshop karya kreatif berbahan dasar sampah maupun gerakan kolektif yang menarik. Misalnya saja ide menukar sampah kering dengan sebotol tumbler atau totebag. Dengan begitu, kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan lingkungan hidup akan tertanam kuat dalam diri setiap individu.
Pengelolaan sampah di sekolah bukanlah tugas yang berdiri sendiri. Ini menjadi tanggung jawab bersama yang membutuhkan komitmen dari seluruh warga sekolah. Lebih dari itu, upaya ini tidak boleh berhenti di gerbang sekolah saja. Siswa sebagai agen perubahan memiliki peran penting dalam menyebarkan kesadaran dan praktik baik pengelolaan sampah di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.
Siswa dapat menjadi duta lingkungan dengan berbagai cara. Mereka dapat mengajak keluarga dan teman-teman untuk memilah sampah di rumah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan memanfaatkan barang-barang bekas. Mereka juga dapat aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan di masyarakat, seperti membersihkan sungai, menanam pohon, atau mengedukasi warga tentang pengelolaan sampah yang benar.
Sekolah dapat mendukung peran siswa sebagai duta lingkungan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan yang memadai. Sekolah juga dapat menjalin kerja sama dengan organisasi lingkungan atau komunitas peduli sampah untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang lebih luas.