IDN Times Xplore/Crysalis_SMAS BOPKRI 1
Di ujung sehelai daun terkadang tersembunyi telur-telur kecil yang hampir tak terlihat, bahkan nyaris terlupakan. Dari sanalah lahir seekor ulat yang dianggap merugikan karena kebiasaan menggerogoti daun dan mengganggu kehidupan lain di sekitarnya. Namun, justru melalui proses pertumbuhan inilah, telur yang sederhana dan ulat yang selalu dianggap hama dapat berubah menjadi kupu-kupu indah pembawa warna dan kehidupan bagi alam.
Begitu pula dengan upaya manusia dalam melestarikan lingkungan. Awalnya cuma melalui langkah-langkah kecil yang kadang tak dianggap penting, tapi punya potensi besar. Misalnya, membawa botol minum sendiri untuk mengurangi sampah plastik, mematikan lampu saat tidak dipakai, ataupun memilih transportasi umum. Namun di tengah-tengah proses itu, kita seringkali bertemu dengan tantangan-tantangan seperti rendahnya kesadaran masyarakat, kebiasaan buruk yang sudah mengakar di diri kita, maupun godaan untuk mengambil jalan pintas yang lebih mudah tapi merugikan lingkungan. Jika kita berhasil melawan tantangan ini, tentu suatu saat langkah-langkah kecil tadi akan berbuah menjadi hal yang jauh lebih indah dan dapat membawa dampak positif bagi diri sendiri, orang sekitar, maupun lingkungan sekitar.
Saat ini, dunia sedang menghadapi banyak sekali krisis lingkungan global, mulai dari perubahan iklim, pencemaran air dan udara, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Tantangan terbesar tentu saja datang dari manusia itu sendiri. Banyak yang belum memiliki kesadaran akan isu-isu global ini, atau bahkan sudah ada yang menyadari tapi enggan mengambil tindakan apapun. Mereka memilih untuk meremehkan hal tersebut dan terus menunda, sehingga muncullah konsekuensi yang lebih berat seperti banjir, kekeringan, dan bencana alam lainnya. Sama halnya dengan seekor ulat yang sebenarnya ‘tahu’ bahwa kebiasaan menggerogoti daun itu hanya menguntungkan diri sendiri dan malah merugikan orang sekitar tetapi tetap saja selalu melakukan kebiasaan tersebut. Pada akhirnya, ia pun dibasmi oleh pestisida sebelum sempat bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Di tengah isu-isu global yang terus melanda bumi, generasi muda hadir menjadi harapan baru dengan energi yang melimpah, kreativitas tanpa batas, serta akses teknologi yang jauh lebih luas. Dengan berbagai kekuatan ini, generasi muda tak hanya mampu menyelesaikan masalah-masalah ini, tapi juga dapat membentuk masa depan menuju dunia yang lebih ‘hijau’. Bagaikan kupu-kupu yang dapat terbang tinggi, memberikan kehidupan bagi bunga-bunga di sekitarnya. Generasi muda tentu saja dapat menjadi eco-warrior atau pahlawan lingkungan dengan ide-ide dan inovasi cemerlang mereka!
Menjadi seorang eco-warrior bukan hanya tentang trend gaya hidup ‘hijau’, biar kelihatan keren di media sosial. Eco-warrior adalah individu atau kelompok yang memperjuangkan dan mengambil peran aktif dalam menjaga kelestarian bumi dengan memadukan kesadaran, aksi, dan inovasi. Layaknya kupu-kupu yang memulai hidup dari telur kecil, eco-warrior sejati juga memulai dari langkah sederhana yang perlahan berkembang menjadi gerakan yang memberikan perubahan besar.
Seorang eco-warrior tidak hanya mengatakan “ayo buang sampah pada tempatnya!” tapi dimulai dari mengajak, menginspirasi, dan memberikan contoh nyata tentang aksi ramah lingkungan seperti, menanam pohon di sekitar lingkungan sekolah maupun rumah, menggunakan kembali barang lama (reuse) atau mengubah barang lama, menjadi barang baru (upcycle), serta memberikan banyak informasi positif terkait tips and trick mengurangi sampah plastik. Intinya, eco-warrior bukan hanya berbicara tentang masalah, tetapi juga menciptakan solusi.
Dua sayap utama eco-warrior adalah edukasi dan teknologi. Edukasi itu ibarat langkah awal ketika telur menetas, lalu membuka mata untuk pertama kalinya, memunculkan rasa ingin tahu, sehingga muncullah kesadaran akan keberadaannya di dunia. Edukasi mengubah persepsi bahwa lingkungan adalah urusan orang lain menjadi kesadaran bahwa kita semua bagian untuk menemukan solusi dari isu permasalahan lingkungan yang ada. Sementara itu, teknologi adalah sayap yang dapat membawa kita terbang jauh melesat untuk menjangkau lebih banyak orang.
Namun, kesadaran saja tidak cukup. Tantangan yang paling besar adalah “gimana caranya mengubah pola pikir pasif jadi aktif?” Di sinilah kita memanfaatkan FOMO (Fear of Missing Out) untuk tujuan positif. Alih-alih kita FOMO soal tren konsumtif, kita bisa buat tren ‘hijau’ yang bikin orang-orang ikut serta karena takut bakal ketinggalan. Layaknya kupu-kupu yang aktif mencari nektar dari bunga untuk terus bertahan hidup, kita pun juga harus aktif mencari cara untuk berkontribusi. Misalnya, tren membawa tumbler unik ke sekolah ataupun tren strava yang membuat orang berlomba-lomba memposting rute lari dan bersepeda.
Teknologi memainkan peran kunci dalam memudahkan aksi ini. Kita tidak perlu menunggu inovasi yang akan datang di masa depan, saat ini sudah banyak solusi yang tersedia dan tinggal dimanfaatkan. Di Yogyakarta misalnya, sudah ada bus listrik yang bebas emisi sebagai alternatif transportasi umum yang ramah lingkungan. Layanan bajaj listrik Maxride pun memberikan pilihan perjalanan jarak dekat yang hemat energi. Selain itu, penemuan water station yang sudah mulai dimanfaatkan di banyak sekolah dan ruang publik salah satunya adalah SMA BOPKRI 1 Yogyakarta (BOSA) untuk mengurangi kebutuhan air minum kemasan sekali pakai, sehingga membantu mengurangi limbah plastik. Inovasi-inovasi ini adalah wujud ‘sayap’ yang sudah terbentuk, siap membawa perubahan nyata.