Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1
IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1

Halo, Sahabat Bumi!

Kami dari Tim INKBOASH – SMK BOASH 1 dengan bangga mempersembahkan karya mading bertema “Fast Fashion Slow Destruction”. Melalui mading ini, kami ingin mengajak kalian menyadari dampak industri fashion cepat terhadap lingkungan, serta bersama-sama mencari solusi menuju gaya hidup yang lebih bijak dan berkelanjutan.

"Belanja baju di akhir pekan,

Motif baru langsung dibeli.

Fast fashion bawa kerusakan,

Bijak belanja, bumi lestari."

Sebelum masuk ke materi izinkan kami memperkenalkan tim redaksi kami yang terdiri dari:

Guru Pembimbing: Muhammad Apriadi

Ketua: Eko Mayanto Wibowo

Anggota: Rihanna Sheilla Delfina & Hana Humaira Irbah

Karya ini dibuat untuk keperluan kompetisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Mading ini ditampilkan apa adanya tanpa proses penyuntingan dari redaksi IDN Times.

Essai: Latar Belakang [Fast Fashion, Slow Destruction]

IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1

Fast Fashion, Slow Destruction: Ketika Tren Menghancurkan Bumi

Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan Generasi muda yang lebih dominan. Generasi muda ini, khususnya Gen Z, menjadi kelompok paling aktif dalam mengadopsi tren, termasuk dalam dunia mode atau fashion. Namun, dalam mengikuti arus tren global, muncul satu fenomena yang ironis yaitu kecepatan konsumsi fashion yang justru mengancam keberlanjutan lingkungan. Inilah yang dikenal dengan istilah fast fashion.

Fast fashion disini merujuk pada produksi pakaian dalam jumlah besar, cepat, dan dengan harga murah, untuk merespons sebuah tren yang terus berganti. Fenomena ini seolah menjadi solusi bagi gaya hidup konsumtif generasi muda yang haus akan pembaruan visual, terutama di media sosial. Akan tetapi, di balik harga murah dan desain menarik, tersembunyi dampak lingkungan yang sangat besar. Limbah tekstil yang tidak terkelola, penggunaan air dan energi yang berlebihan, serta eksploitasi tenaga kerja menjadi konsekuensi yang tak bisa diabaikan.

Ironisnya, kesadaran terhadap dampak ini masih rendah, terutama di kalangan mahasiswa dan pelajar. Banyak dari mereka membeli pakaian hanya untuk sekali pakai—sekadar tampil “update" di platform digital, kemudian ditinggalkan begitu saja atau menumpuk dilemari. Kebiasaan ini memperkuat siklus konsumsi cepat, yang akhirnya menciptakan gunungan limbah pakaian di tempat pembuangan akhir.

Sayangnya disini pendidikan mengenai keberlanjutan di bidang mode belum mendapatkan porsi yang memadai di institusi pendidikan, bahkan di jurusan-jurusan yang berkaitan dengan desain atau ekonomi kreatif. Kurikulum yang ada belum sepenuhnya menyentuh aspek lingkungan dari industri fashion. Akibatnya, lahirlah lulusan-lulusan yang kreatif dalam menciptakan tren, namun belum memiliki kesadaran ekologis yang cukup untuk menahan laju kerusakan.

Dalam menghadapi persoalan lingkungan yang semakin kompleks ini, peran generasi muda Gen Z memiliki peran strategis sebagai agen perubahan. Melalui tema “Fast Fashion Slow, Destruction: Ketika Tren Menghancurkan Bumi Kita”, muncul seruan agar pemuda terlibat aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Isu ini tidak bisa lagi dianggap remeh, mengingat dampaknya sudah mulai dirasakan secara nyata di berbagai aspek kehidupan.

Mahasiswa sebagai kaum terdidik seharusnya mampu melampaui sekadar mengikuti tren gaya hidup. Mereka dituntut untuk menjadi contoh dalam menyuarakan nilai-nilai keberlanjutan, terutama dalam hal produksi dan konsumsi. Tidak hanya sebatas wacana, peran aktif ini bisa diwujudkan melalui langkah sederhana namun bermakna.

Beberapa alternatif solusi yang dapat dilakukan antara lain adalah mulai menggunakan pakaian bekas (thrift) sebagai bentuk pengurangan limbah tekstil, mendukung merek lokal yang berkomitmen pada prinsip keberlanjutan, serta menciptakan gerakan digital untuk menyebarluaskan kesadaran lingkungan secara lebih masif. Di era serba digital ini, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk menciptakan inovasi ramah lingkungan, seperti sistem produksi yang efisien dan minim emisi.

Dengan kombinasi antara edukasi, aksi nyata, dan pemanfaatan teknologi, generasi muda diharapkan mampu menjadi motor penggerak perubahan menuju masa depan yang lebih hijau, bersih, dan berkelanjutan.

Esai: Kesimpulan [Fast Fashion, Slow Destruction]

IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1

Dan pada akhirnya, menjadi ECO Warrior bukan berarti menghindari fashion, melainkan memahami dampaknya dan mengubah cara kita mengonsumsinya. Bila tidak ada kesadaran kolektif sejak dini, maka kita akan terus menyaksikan bagaimana industri yang tampak “trend” ini perlahan-lahan menjadi mesin perusak lingkungan terbesar.

Fenomena fast fashion mencerminkan gaya hidup konsumtif generasi muda yang tanpa disadari turut memperparah kerusakan lingkungan. Ya.. walau meskipun industri ini menawarkan kemudahan dan tren yang cepat berganti, dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan sangat besar. Sayangnya kesadaran akan isu ini masih rendah, bahkan di kalangan mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan. Kurangnya perhatian dalam sistem pendidikan turut memperparah ketidaktahuan ini. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran kolektif dan aksi nyata, mulai dari perubahan kebiasaan pribadi hingga dukungan terhadap praktik fashion yang berkelanjutan. Menjadi ECO Warrior bukan berarti berhenti bergaya, melainkan mulai bertanggung jawab atas dampak dari keputusan berpakaian dan gaya hidup kita sehari-hari.

Infografik [Fast Fashion, Slow Destruction]

IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1

Fast Fashion, Slow Destruction: Tampil Keren Tanpa Merusak Bumi

Fast fashion kini jadi pilihan banyak anak muda, terutama Gen Z. ya!! seperti ku ini, yang selalu ingin tampil baru dengan harganya yang murah. Tapi.. di balik itu, ada masalah besar, mulai dari limbah pakaian hingga polusi lingkungan. Bahkan, untuk membuat satu kaus saja bisa menghabiskan ribuan liter air loh!

Kok bisa?? Ya.. karena banyak tren fashion yang mungkin hanya bertahan sebentar, kadang cuma 1–3 minggu. Akibatnya, kita jadi sering beli baju baru dan tidak sadar akan dampak buruk buat bumi kita. Padahal, industri fashion sudah menyumbang sekitar 10% emisi karbon dunia.

Kenapa?? Supaya nggak makin parah dan kita juga bisa mulai dari langkah kecil. Misalnya nih! beli baju bekas (thrift), mendukung brand yang ramah lingkungan, dan pikir dua kali sebelum belanja. Kalau punya baju yang nggak dipakai, lebih baik disumbangkan atau didaur ulang.

Tampil stylish itu boleh sih, tapi jangan sampai lupa karena itu merusak lingkungan.

Yuk, jadi keren tanpa boros!

Rubrik Diskusi: Infografik Pertamina

IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1

Peran Pertamina disini yaitu untuk mendorong inovasi energi di Indonesia dengan melalui pengelolaan energi pintar, riset energi terbarukan, efisiensi kilang, dan pengembangan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) pintar. Upaya ini berdampak positif seperti dengan mengurangi emisi karbon, memperluas akses energi yang bersih, menciptakan lapangan kerja hijau (Green Jobs), dan menurunkan biaya operasional energi. Disini Pertamina juga menguatkan edukasi dan kemitraan dengan melalui program pembelajaran energi terbarukan, pelatihan keterampilan hijau, serta edukasi energi di sekolah.

Foto bercerita [Merangkai Ide]

IDN Times Xplore/INKBOASH_SMK Boash 1

Merangkai Ide..

“Dari jarak lahir gagasan, dari gagasan terwujud karya.”

halo guys.. disini kami sedikit menceritakan perjalanan kami dalam membuat karya yang kami banggakan ini.

Awalnya disini jarak adalah suatu tantangan terbesar kami, Karena sedang PKL, kami tidak bisa bertemu langsung. Yang alhasil, layar Zoom itu lah yang menjadi ruang kumpul kami untuk berdiskusi"

“Yaa walaupun prosesnya memang tidak selalu mudah, tapi langkah demi langkah yang pada akhirnya membawa sebuah hasil. Dari sekadar gagasan, perlahan berubah menjadi karya nyata. Inilah titik akhir perjalanan itu saat mading dengan bertema "Fast Fashion Slow Destruction" benar-benar terwujud, sebagai puncak dari usaha yang sudah dijalani.”

Dan yapp... tidak terasa yaa, perjalanan ini telah sampai di penghujung karya kami. Tidak terasa juga bagi kita semua, ada hal yang jauh lebih besar untuk direnungkan bahwa perlahan bumi mulai kehilangan wajahnya yang dulu. Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, berapa seringnya kita mendahulukan kepentingan pribadi tanpa memikirkan alam dan kehidupan di sekitarnya?

Kesimpulannya: Karya ini mungkin telah berakhir disini, tapi pesan dan maknanya harus tetap diteruskan. Dan peran kita sebagai Gen Z untuk meneruskan dalam menjaga nya agar bumi kita tetap hidup bersama kita didalamnya.

"Untuk Bumi Untuk Kita Bersama"

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team