IDN TIME EXPLORE/ GREENARIA_SMAN 56 JAKARTA
“Gunung pakaian” di Gurun Atacama, Cile, dan lautan mikroplastik yang tak kasat mata hanyalah sedikit gambaran dari sisi kelam industri fesyen. Di balik rak toko yang memamerkan pakaian kekinian dan feed media sosial yang selalu menampilkan tren terbaru, tersembunyi realitas pahit: fast fashion. Dulu, dunia mode hanya berganti trend 2–4 kali setahun, memberi ruang bagi desainer untuk berkreasi, pekerja untuk beristirahat, dan alam untuk pulih. Kini, ritmenya berubah drastis—koleksi baru bisa muncul tiap minggu, bahkan harian. SHEIN, misalnya, merilis rata-rata 6.000 gaya baru setiap hari. Bukan lagi sekadar mengikuti tren, melainkan menciptakan “rasa ketinggalan” agar konsumen membeli lebih sering.
Permintaan itu bukanlah kebutuhan alami manusia, melainkan manufactured demand—permintaan yang diciptakan oleh model bisnis itu sendiri. Harga super murah, dorongan algoritma, dan pengaruh influencer membuat belanja impulsif terasa wajar. Akibatnya, produksi melonjak, meninggalkan jejak ekologis yang mengkhawatirkan. Menurut UNEP, industri fesyen menyumbang 2–8% emisi gas rumah kaca global, setara dengan gabungan seluruh penerbangan internasional dan pelayaran.
Lebih dari separuh serat tekstil dunia—sekitar 57%—terbuat dari polyester berbahan fosil yang butuh ratusan tahun untuk terurai. Tak hanya itu, sekitar 35% mikroplastik di laut berasal dari air cucian pakaian berbahan sintetis yang kita pakai sehari-hari. Ironisnya, kurang dari 1% pakaian bekas benar-benar didaur ulang menjadi pakaian baru (fiber-to-fiber recycling). Sisanya dibakar, ditimbun, atau dikirim ke negara berkembang sebagai pakaian bekas murah—di mana 40% di antaranya berakhir di TPA atau menumpuk di pantai, seperti yang terjadi di Ghana.
Namun, persoalan ini bukan hanya soal lingkungan. Ada cerita manusia di baliknya. Tragedi Rana Plaza di Bangladesh (2013) menewaskan 1.134 pekerja garmen, membuka mata dunia bahwa harga murah sering dibayar mahal oleh nyawa. Upah minim, lembur ekstrim, dan pabrik yang beroperasi 24 jam adalah wajah nyata rantai pasok fast fashion.
Tak berlebihan bila sampah fesyen disebut sebagai “sampah terbesar kedua yang terlupakan”—bukan karena peringkat resmi, melainkan karena dampaknya yang nyaris tak kita sadari dalam keseharian.