IDN Times Xplore/GO BTT_SMKN 42 JAKARTA
Di tengah isu-isu lingkungan yang semakin mendesak, sekolah memiliki peran krusial dalam menanggulangi masalah sampah dengan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab pada siswa. Dimana saat ini, Generasi Muda yang tumbuh di tengah krisis iklim harus memiliki pengetahuan akan isu lingkungan, namun pengetahuan terkadang tidak dibarengi oleh kesadaran dan tindakan nyata. Tumpukan sampah di kantin, bungkus makanan di kolong meja, botol plastik di lapangan, dan sampah kemasan yang tidak terpilah menjadi pemandangan sehari-hari di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup, butuh fasilitas, kesadaran dan kebijakan yang tegas untuk memicu perilaku peduli lingkungan. Sebagaimana disampaikan oleh Budiharjo (2017:8), kesadaran yang tinggi—yang dibentuk sejak dini—adalah fondasi utama untuk meningkatkan partisipasi aktif dalam program kebersihan.
Masalah sampah di sekolah bukanlah isu yang berdiri sendiri, melainkan cerminan dari tantangan nasional yang lebih besar dan terjadi selama bertahun-tahun. Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 56,63 juta ton, namun hanya 39,01% yang dikelola dengan baik. Sisanya dibuang ke TPA terbuka (open dumping) yang mencemari lingkungan sekitar. Data ini menjadi alarm, bahwa sekolah sebagai miniatur masyarakat sekaligus tempat edukasi, juga menghadapi tantangan yang sama. Dimana sampah dari kantin, yang menyumbang volume signifikan, sering kali berakhir di tempat sampah tanpa pemilahan, mencemari lingkungan sekolah dan TPA.
Memahami jenis sampah yang dihasilkan adalah langkah awal sebagai solusi yang tepat. Dimana sampah organik, seperti sisa makanan, dapat diolah menjadi pupuk kompos yang bermanfaat untuk kebun sekolah (Rasidi 2022:13). Sebaliknya, sampah anorganik, seperti botol plastik dan bungkus jajanan, sangat mendominasi dan butuh ratusan tahun untuk terurai, sehingga berpotensi mencemari tanah jika tidak dikelola (Adzim 2023:14). Selain itu, sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) seperti baterai bekas atau kemasan kosmetik yang dibawa siswa juga sering terabaikan dan memerlukan penanganan khusus (Aji & Hesti Wardhani, 2024:19).
Untuk mengatasi tantangan kompleks ini, bukan hanya diperlukan pendekatan yang tegas melainkan diperlukan pula pendekatan yang holistik dan menarik bagi siswa. Sekolah dapat bertransformasi menjadi sebuah laboratorium hidup dengan menerapkan Program 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
- Reduce menjadi langkah paling efektif dengan mengurangi volume sampah dari sumbernya. Sekolah dapat menerapkan larangan penggunaan kemasan sekali pakai seperti plastik di kantin dan mengedukasi siswa untuk membawa wadah makanan serta botol minum sendiri.
- Reuse dapat diterapkan melalui proyek kreatif yang mendorong siswa menggunakan kembali sampah anorganik, seperti membuat sebuah pot tanaman dari botol plastik atau hiasan dari bungkus kopi.
- Recycle dapat diwujudkan dengan mendirikan Bank Sampah Sekolah. Siswa dapat mengumpulkan sampah terpilah untuk ditukar dengan imbalan, yang tidak hanya mendidik mereka tentang daur ulang, tetapi juga memberikan insentif ekonomi untuk mereka. Di samping itu, program komposting dapat mengolah sisa makanan dari kantin menjadi pupuk.
Dengan menjadikan pengelolaan sampah sebagai bagian dari budaya dan kurikulum, sekolah dapat memberdayakan siswa untuk menjadi agen perubahan yang tidak hanya sadar akan masalah lingkungan, tetapi juga mampu bertindak nyata untuk menyelesaikan masalah tersebut. Keterlibatan mereka dalam setiap tahapan, mulai dari memilah sampah hingga mengolahnya, akan menumbuhkan kebiasaan yang akan mereka bawa hingga dewasa nanti, menjadikan mereka bagian dari solusi untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.