IDN Times Xplore/ARBES_SMKN 69 Jakarta
Jika bumi bisa berbicara, mungkin suaranya akan penuh keluh kesah. Ia akan menatap manusia dengan sedih dan berkata, “anak-anakku, mengapa kalian tega merusak rumah kalian sendiri?” Bayangan ini bukan sekedar imajinasi saja, melainkan cerminan nyata dari situasi yang kita hadapi saat ini.
Jika kita memulai pemaparan data, dimulai dari laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2023) dalam ringkasan laporan ke-6 mengenai perubahan iklim (The Sixth Assessment Report) menyatakan bahwa suhu permukaan Bumi dalam skala global telah meningkat dan peningkatannya pun dengan laju yang terus bertambah. Sebagian besar kenaikan suhu itu juga disebabkan oleh perilaku manusia dan dampaknya adalah dihasilkannya gas-gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap pemanasan permukaan Bumi itu. Kesimpulannya, suhu permukaan bumi meningkat sekitar 1,1$^\circ$C sejak era pra-industri dan jika masalah ini terus berlanjut, bencana-bencana alam seperti kekeringan, banjir ekstrem, dan cuaca tak menentu akan memusnahkan banyak populasi di muka bumi atau bahkan Bumi tempat kita berpijak ini.
Selain itu, masalah lain seperti sampah plastik yang sudah tak asing lagi ekstensinya. Karena nyatanya berdasarkan data United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah cina. Permasalahan yang telah berlarut selama bertahun-tahun itu seakan menciptakan paradoks. Parahnya, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 70% wilayahnya adalah lautan. Namun, semua itu seakan runtuh begitu saja karena berjuta-juta ton sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik justru berakhir ke laut. Jika Bumi berbicara, ia mungkin akan berteriak kesakitan melihat laut yang dulu biru kini dipenuhi plastik yang tak bermutu.
Jika kita berandai-andai, semua sampah plastik di laut menghilang. Bagaimana dampaknya bagi ekosistem lautan?
Biota-biota laut peluang hidupnya akan lebih besar dan mereka akan berkembang biak. Hal ini adalah kabar gembira bagi mereka dan bagi pecinta hewan pastinya. Mereka tidak akan lagi terganggu oleh plastik yang mereka kira adalah makanan, sedih sekali membayangkan banyak hewan punah karena tertelan limbah plastik yang dibuang oleh oknum tak bertanggung jawab. Dan otomatis jika plastik menghilang dari lautan, manusia dapat mengonsumsi makanan laut yang sehat dan layak konsumsi karena sumber pencemarannya hilang. Selain itu, sektor pariwisata dan ekonomi di pesisir pasti meningkat karena estetika laut tanpa pencemaran yang indah dan alhasil menambah daya tarik pengunjung domestik dan mancanegara. Namun, ada pula dampak merugikan bagi beberapa spesies yang menciptakan krisis habitat bagi mereka. Seperti Halobates sericeus yang menggunakan plastik sebagai tempat bertelur dan jika plastik hilang mereka harus mencari tempat baru.
Contoh nyata
Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat contoh nyata ke khawatiran tersebut. Di dekat sekolah kami, terdapat sebuah tempat pembuangan sampah sementara yang menjadi lokasi para pengepul sampah gerobakan mengumpulkan hasilnya. Lingkungan sekitarnya adalah perkampungan padat penduduk dengan banyak industri kecil. Setiap hari, tumpukan sampah tersebut kian bertambah, menimbulkan bau menyengat yang terbawa angin bahkan ke ruang kelas kami. Sampah tersebut menyebabkan polusi udara tercemar, makhluk-makhluk hidup yang alih-alih membutuhkan oksigen segar tapi nyatanya tidak karena tumpukan permasalahan lingkungan tersebut. Situasi ini membuat kami semakin sadar bahwa sampah yang tidak dikelola dengan baik bukan hanya masalah estetika, melainkan juga ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi tersebut tumbuh dengan udara tercemar, warga harus beraktivitas di tengah bau tak sedap, dan kami, para pelajar, ikut merasakan dampaknya setiap hari. Kejadian ini mengingatkan kami bahwa krisis lingkungan bukan hanya isu global yang jauh di mata, melainkan nyata di depan mata.
Dua hal penting yang dapat menjadi senjata utama anak muda dalam menjawab jeritan Bumi adalah edukasi dan teknologi. Edukasi mampu menumbuhkan kesadaran kolektif, sedangkan teknologi menghadirkan solusi praktis yang inovatif.
Melalui edukasi, anak muda bisa menyebarkan pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Langkah-langkah sederhana namun bermakna yang dapat kita terapkan adalah
Membuang sampah pada tempatnya. kedengarannya sepele, tapi sebenarnya banyak sekali yang bandel. Padahal, tindakan ini merupakan pondasi dari sistem pengelolaan sampah yang lebih besar. Jika masyarakat disiplin, sampah akan lebih mudah dipilah dan diolah kembali, bukan menumpuk menjadi gunung.
Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Aksi ini pastinya sudah diterapkan di sekolah kami dan diharapkan juga seluruh lapisan masyarakat ikut mengimplementasikannya. Tas belanja kain, atau wadah makanan yang dapat digunakan kembali adalah contoh nyata yang bisa dilakukan siapa saja. Dengan langkah kecil ini, kita membantu mengurangi jutaan ton plastik yang berakhir di laut setiap tahunnya. Keren, kan?
Menanam pohon. Pohon bukan hanya sekedar penghias lingkungan, tetapi juga penyerap karbon, penyedia oksigen, dan pelindung dari erosi tanah. Jika setiap siswa atau warga menanam setidaknya satu pohon, dampaknya akan sangat besar bagi kualitas udara dan iklim lokal.
Memanfaatkan energi terbarukan. Langkah ini adalah bagian dari teknologi. Di Indonesia, pemerintah menargetkan 23% energi berasal dari sumber terbarukan pada 2025. Meski terdengar sulit, langkah ini bisa dimulai dari skala kecil seperti menggunakan panel surya di sekolah atau rumah, serta mendukung kebijakan pemerintah yang mengembangkan energi ramah lingkungan. Dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, kita juga ikut memperlambat laju pemanasan global.
Dari langkah-langkah hebat dan sehat itu, Bumi mungkin akan tersenyum melihat generasi mudanya beraksi. Sebab dari langkah kecil, lahirlah perubahan besar.