IDN Times Xplore/Laskar Daffodil_SMA Marsudirini Bekasi
Apakah kalian pernah datang ke sebuah toko baju terkenal dan berhenti sejenak untuk berpikir dua kali? Bukan, bukan karena uang kalian kurang, tapi berpikir apakah jangan-jangan pakaian baru yang ingin kalian beli bisa menjadi bumerang untuk mencelakakan kalian?
Tahun 1990-an, New York Times memberi nama pada fenomena yang dapat membunuh bukan hanya lingkungan, tapi juga makhluk hidup di dalamnya, sebagai Fast Fashion. Istilah Fast Fashion pertama kali digunakan untuk mendeskripsikan kecepatan Zara dalam menciptakan desain pakaian dan memproduksinya hanya dalam waktu 15 hari saja. Sampai saat ini, istilah Fast Fashion masih digunakan untuk menggambarkan industri produk fesyen yang memproduksi dengan cepat dan harga yang terjangkau, tetapi berdampak buruk untuk lingkungan.
Nyatanya semakin terang suatu hal bersinar, semakin gelap pula bayangan yang akan dihasilkan. Fast Fashion lebih dari sekadar peluang bisnis yang menguntungkan kapitalis, Fast Fashion harus diproduksi dan dijual dengan cepat. Produksi yang tak pernah berhenti inilah yang membahayakan karena perusahaan-perusahaan mode tak pernah berhenti menghasilkan limbah sisa produksi yang berakhir mencemari tanah, air dan udara.
Diestimasikan ada sekitar 92 juta ton limbah tekstil dari seluruh dunia setiap tahunnya. Jika fakta tersebut kurang mencengangkan, kita diperkirakan akan menghasilkan 134 juta ton tekstil pada 2030 karena kian meningkatnya permintaan untuk Fast Fashion. Walau memiliki limbah tekstil yang melimpah ruah, realitanya hanya 1% yang diubah menjadi pakaian baru. Walau sangat mungkin untuk mendaur ulang limbah tekstil, teknologi daur ulang tersebut sangatlah terbatas saat menyangkut material yang tercampur, seperti misalnya baju dari bahan kapas yang digabung dengan bahan poliester, karena bahan yang tercampur tersebut menjadi lebih kompleks.
Selain itu, limbah sisa dari pewarnaan tekstil pun tak kalah berbahaya. Industri fesyen menyumbang setidaknya 20% polusi air secara global dikarenakan bahan kimia dalam pewarna sintesis sisa produksi serta pecucian pakaian langsung dibuang ke sungai, menghasilkan mikroplastik dan akhirnya mengalir ke laut. Sudah ada setidaknya 1.7 juta kematian tiap tahunnya diakibatkan konsumsi air yang tercemar. Di lain sisi, industri fesyen masih membutuhkan sekitar 2.700 liter air untuk menciptakan satu pakaian berbahan dasar katun karena tanaman kapas yang memerlukan air untuk tumbuh, sehingga memungkinkan terjadinya defisit air di daerah tertentu.
Tidak hanya sampai di situ, udara juga turut tercemar dalam proses memproduksi Fast Fashion. Dibutuhkan banyak sumber daya sampai pakaian jatuh ke tangan konsumen, mulai dari mesin pembuatan pakaian, proses mengeringkan pakaian setelah direndam pewarna, hingga distribusi pakaian. Oleh karena itu, sekitar 10% karbon dioksida yang diproduksi secara global datang dari industri fesyen, serta tercatat memproduksi satu buah T-shirt menghasilkan 2.6 kg karbon dioksida, sedangkan satu buah jeans menghasilkan 11.5 kg karbon dioksida, terhitung dari awal produksi hingga sampai ke toko cabang.
Jadi, apa kamu siap untuk menanggung semua risiko yang bisa terjadi jika masih mau menggunakan produk-produk Fast Fashion? Kalau kamu sudah masuk dalam barisan orang yang sudah tersadarkan, kami punya beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak Fast Fashion.
Cara paling mudah bagi generasi muda menyelamatkan bumi dari imbas Fast Fashion adalah dengan membeli lebih sedikit pakaian. Memang terdengar sepele, tapi industri fesyen, terutama yang memproduksi Fast Fashion, bisa berkembang sampai sekarang karena mereka memiliki permintaan dari pelanggan. Kerja sama untuk berhenti membeli pakaian baru untuk memenuhi keinginan mengikuti tren harus menjadi pertimbangan bagi generasi muda.
Sudah pernah lihat konten thrifting baju lewat di beranda Tiktokmu? Coba mulai pertimbangkan untuk melakukan hal yang serupa. Dengan membeli barang yang sudah dibeli dari tangan sebelumnya, kita dapat mengurangi permintaan kepada brand besar penghasil Fast Fashion serta dapat memberikan kesempatan baru kepada pakaian supaya tidak berakhir menjadi limbah tekstil.
Sebagai remaja yang memiliki banyak waktu di sosial media, penting bagi kita untuk menggalakkan gerakan anti Fast Fashion dengan menyebarkan kesadaran lewat artikel serta foto dan video singkat. Di era digital ini, informasi adalah segalanya karena segalanya bisa membalikkan punggung mereka dari satu informasi yang tersebar luas. Kita juga perlu mengedukasi teman yang belum mengerti, kepada mereka yang masih membeli baju baru dari brand Fast Fashion besar yang menyumbang kerusakan pada lingkungan. Berikan list brand mana saja yang perlu dihindari supaya mereka dapat menyebarkan pada orang lain.
Teman-teman dapat juga mencari informasi lokasi yang menerima sumbangan baju bekas jika merasa baju yang dimiliki sudah tidak sesuai dengan selera teman-teman. Selain mengurangi pakaian bekas, kita juga dapat memberikan kesempatan kedua bagi pakaian untuk tidak menjadi limbah tekstil.