IDN Times Xplore/Madyapadma Berkabar_SMA Negeri 3 Denpasar
TAHUKAH CAPUNG? Ialah serangga kecil yang memiliki sayap. Kerap kita jumpai di tempat-tempat tertentu seperti taman atau sekitar rumah. Namun, pernahkah melihatnya beterbangan bebas sekarang? Satu atau dua capung, pernahkah? Faktanya, bila semakin jarang bertemu capung, menjadi sebuah pertanda bahwa ada yang salah dari lingkungan kita. Salah satunya permasalahan lingkungan sungai yang dicemari oleh plastik.
Pernahkah menghitung jumlah plastik yang kita pakai sehari-hari? Banyak nian, bukan begitu? Menurut artikel yang dipublikasikan oleh Universitas Airlangga (2024), plastik adalah ‘polimer buatan’ dari bahan organik dan sumber fosil, seperti batu bara, gas alam, dan minyak mentah. Plastik pun umumnya digunakan sehari-hari untuk kemasan botol, kerajinan, peralatan rumah tangga, otomotif, hingga pembungkus makanan (DKJN, 2022).
Sejarah Plastik
Kapan kita mulai pakai plastik? Melansir dari Kompas (2022), sejak abad ke-19 kemunculan plastik bermula dari kebutuhan manusia akan kekurangan wadah ‘praktis’. Orang-orang di masa itu kesana kemari tergopoh-gopoh membawa barang bawaannya.
Gelisah akan kesusahan ini, muncul inovasi kantung kertas yang terbuat dari serat kayu murah dan mudah dibuat. Namun sayangnya tidak berlangsung lama, kantung kertas mudah robek dan tidak tahan air. Dan seiring waktu, kebutuhan manusia semakin besar, semakin banyak pula barangnya. Sedangkan jika kantung kertas diteruskan, pohon-pohon di dunia ini dinilai akan habis dan mengancam kelestarian hutan.
Kemudian pada 1960-an, muncul kantong plastik berbahan polietilena (PE) yang kemudian populer pada 1970–1980 karena ringan, tahan air, dan murah. Akan tetapi, plastik juga menghadirkan persoalan baru, yaitu bahannya yang sulit terurai di alam dan membahayakan makhluk hidup.
Hal ini menimbulkan manusia berinovasi. Di Indonesia, DKI Jakarta meresmikan Pergub No. 142/2019 yang mengganti kantong plastik sekali pakai dengan tas spunbond berbahan polypropylene (PP). Tas ini dimaksudkan bisa dipakai berulang, tetapi faktanya banyak warga hanya menggunakannya 1–2 kali lalu membuangnya. Padahal, spunbond lebih tebal dan lebih sulit terurai. Sehingga daur ulangnya yang terbatas, tas spunbond justru bisa lebih buruk dari plastik tipis.
Salahkah Pakai Plastik?
Masalahnya, isu plastik kini tidak lagi terbatas pada kantong belanja. Serat yang dikenakan oleh tubuh, yaitu baju—berbahan poliester, nilon, dan akrilik—juga melepaskan ‘mikroplastik’ tiap kali dicuci. Kosmetik yang merona di pipi kita pun mengandung microbeads. Artinya, mikroplastik sebenarnya sudah sangat melekat dengan tubuh kita. Ia memang kecil. Kehadirannya pun tersembunyi. Tapi, si kecil ini berpotensi membahayakan bagi kesehatan kita.
Berdasarkan penelitian Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia (2025) menunjukkan mikroplastik terdeteksi dalam 95 persen sampel darah, urin, dan feses partisipan. Kandungan partikel ini mencapai 7,35 per gram darah dan 44,35 per gram feses. Jenis partikel yang paling dominan adalah Polyethylene Terephthalate (PET), plastik yang umum digunakan pada botol sekali pakai.
Terlebih adanya data menegaskan bahwa masyarakat Indonesia menelan rata-rata 15 gram mikroplastik per bulan yang setara dengan tiga kartu kredit (Katadata Green, 2024). Sumber utamanya datang dari ikan, makanan laut, dan air minum. Ecoton bahkan menemukan bahwa udara di Jawa Timur, terutama Gresik dan Sidoarjo, sarat partikel mikroplastik (Surabaya Inews, 2025). Tidak heran capung sudah jarang kelihatan sekarang. Air, tanah, hingga udara pun sudah tercemari partikel plastik.
Cara Mikroplastik Menjamah Otak Kita
Lantas bagaimana mikroplastik ini dapat membahayakan tubuh kita? Mula-mula, sampah plastik dari masyarakat yang membludak terbawa arus ke sungai dan laut, masuk ke tubuh plankton atau hewan-hewan mikroskopis. Lalu bisa berlanjut ke ikan dan udang yang pada akhirnya kita santap dan masuk dalam pencernaan kita. Rupanya, semulus ini perjalanan mikroplastik mencemari lingkungan sekitar dan hinggap di tubuh kita.
Dampak paling mengejutkan muncul dari studi yang diterbitkan Toxicological Sciences (2024). Rata-rata ditemukan 4.800 mikrogram plastik per gram jaringan otak manusia. Jumlah yang meningkat 50 persen dibanding 2016. Akumulasi ini bahkan 10 hingga 30 kali lebih banyak dibanding di organ lain, seperti hati atau ginjal (Business Insider, 2025). Pada hewan uji, mikroplastik terbukti diangkut sel imun hingga menumpuk di pembuluh darah otak, memicu risiko penyumbatan dan neuroinflamasi.
Penelitian Greenpeace (2025) menyebut, konsumsi plastik sekali pakai berhubungan dengan peningkatan risiko penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat. Apoptosis, atau kematian sel terprogram di otak, mungkin terdengar jauh dari keseharian kita. Namun, inilah dampak dari mikroplastik. Berkurangnya daya ingat, fokus, dan kapasitas berpikir generasi muda. Maka, tanpa kita sadari, dampak mikroplastik sangat berhubungan dengan kesehatan manusia. Sebab itu, semua permasalahan ini menggugat adanya kesadaran dari manusia. Bagaimana manusia bisa berpikir jernih, kalau otak yang jadi pusat kesadaran ikut disusupi plastik?
Mari Menata Sikap Konsumtif Kita
Kita, sebagai manusia masih sering terjebak pada pola repetisi: dari kertas, ke plastik, lalu ke kain. Buat apa terus-menerus berinovasi apabila perilaku konsumtif kita tidak ikut berubah? Maka solusinya bukan semata-mata mengganti bahan, melainkan mengubah sistem dan perilaku manusia.
Individu bisa mengurangi plastik sekali pakai, sementara pemerintah perlu memperketat impor limbah dan kebijakan kantong plastik berbayar. Adapun pada 2023, Indonesia masih mengimpor 252.473 ton sampah plastik dari 27 negara (Mongabay, 2025). Jumlah sebesar ini tidak hanya menambah beban pengelolaan sampah domestik, tetapi juga memperbesar potensi plastik bocor ke alam, hancur menjadi mikroplastik, yang akhirnya memperburuk rantai makanan kita. Dari sini, mikroplastik sungguh-sungguh menjadi ancaman yang patut kita tanggapi.
Oleh karenanya, edukasi publik mengenai sampah plastik harus disampaikan dengan cara yang menyentuh, bukan sekadar data. Sebab persoalan plastik ini bukan hanya soal angka, melainkan termasuk soal tubuh kita sendiri. Cara sederhana mengatasi masalah plastik ialah dengan mencegah sampah terbuang bebas ke alam. Sehingga tidak ada mikroplastik yang hanyut dalam laut, tanah, hingga udara. Selain itu, Kementerian Kesehatan pun mengakui bahwa kajian epidemiologis mikroplastik masih minim (Antara, 2023). Sehingga, riset lanjutan mutlak diperlukan, terutama untuk menyingkap hubungan mikroplastik dengan kesehatan manusia.