IDN Times Xplore/Smartizen_SMK Muhammadiyah 1 Semarang
Sudah diobati namun tak kunjung sembuh, begitulah kiranya ungkapan yang dapat menggambarkan permasalahan sampah di Indonesia saat ini, bahkan sampah telah menjadi tantangan yang semakin mendesak, seiring dengan pertumbuhan populasi dan pola konsumsi masyarakat yang semakin meningkat.
Dibalik permasalahan sampah yang tak kunjung usai, tentu pemerintah tidak hanya diam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengobati dan mengantisipasi luka menganga yang terus berdarah di bumi pertiwi. Seperti dokter yang merawat pasien kritis, pemerintah telah meracik berbagai resep kebijakan, mulai dari program bank sampah yang mengajarkan masyarakat untuk menabung sampah dengan nilai ekonomi, Gerakan Indonesia Bersih, sebagai salah satu pilar dari 5 Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang tercantum dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016. Mesin pirolisis yang telah digunakan beberapa daerah di Indonesia untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar seperti solar, hingga gerakan reduce, reuse, recycle yang digaungkan bagai mantra penyembuhan. Komitmen ini bahkan telah dituangkan dalam payung hukum yang kokoh, sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2008 pasal 7, tugas pemerintah adalah mendorong, melaksanakan, dan memberikan fasilitas pengelolaan sampah. Bahkan pemerintah juga melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
Sayangnya obat-obatan tersebut seringkali hanya menyentuh permukaan luka, belum benar-benar meresap hingga ke akar permasalahan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut belum mampu menghasilkan dampak yang signifikan. Perubahan yang diharapkan masih jauh dari kata memuaskan. Fakta menunjukkan Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia setelah Cina, bahkan menurut data Sistem Informasi Pengeloaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024, jumlah timbunan sampah nasional menyentuh angka 34,6 juta ton yang mana 59,92% atau 20,7 ton-nya belum terkelola dengan baik, angka ini semakin besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Untuk mengatasi masalah sampah hingga ke akarnya, kita harus mencari dari mana sampah itu berasal, tentu kita sudah mengetahui jawabannya yaitu dari aktivitas manusia. Sedangkan akar permasalahan yang sebenarnya tertanam jauh di dalam karakter masyarakat Indonesia. Lihatlah bagaimana kita berbelanja, satu buah pisang dibungkus plastik, sebotol air mineral kecil untuk jarak tempuh beberapa meter, makanan yang seharusnya bisa dimakan langsung tapi masih dibungkus dengan alasan “buat jaga-jaga”.
Wujudkan Karakter Peduli Lingkungan Melalui Pendidikan
Sudah saatnya revolusi karakter dilakukan dan hal tersebut dapat dimulai dari dunia pendidikan dengan membentuk karakter siswa peduli tidak hanya sebatas teori namun diwujudkan dengan aksi. Isu-isu lingkungan dapat diintegrasikan dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, misalnya mengintegrasikan pelajaran Matematika dengan isu lingkungan, siswa diajak menghitung statistik tingkat sampah di sekolah, dalam pelajaran IPA siswa diajak membuat kompos dari sampah organik. Bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan membaca, menulis, menyimak, serta berdiskusi tentang sampah plastik, atau membuat puisi bertema lingkungan. Begitu juga dengan pelajaran lain sebaiknya diintegrasikan dengan isu lingkungan. Kemudian mengadakan lomba kebersihan antar kelas, atau mengadakan ajang duta kebersihan di sekolah, sehingga ini merupakan bentuk dukungan dari program Adiwiyata yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Hal lain yang bisa diupayakan misalnya dengan menyediakan tempat sampah khusus dan diberi keterangan untuk sampah organik dan non organik, sehingga siswa bisa belajar memilah sampah mereka. Membentuk jadwal piket kelas harian, mengajak siswa menanam tanaman. Selain itu menerapkan kebijakan kepada seluruh siswa untuk selalu membawa Tumbler dan tempat makan sendiri, dalam hal ini sekolah harus bekerja sama dengan pihak kantin untuk tidak melayani siswa dalam penggunaan plastik. Jika siswa ingin membeli es maka tidak lagi menggunakan cup plastik, namun menggunakan Tumbler yang mereka bawa. Pihak sekolah harus tegas dalam menerapkan kebijakan ini. Semua diawali dengan langkah kecil, kunci utamanya adalah konsisten, komitmen dan keyakinan. Seperti kata pepatah Tiongkok perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.
Guru Sebagai Teladan, Murid Sebagai Agen perubahan
Satu hal yang gak kalah penting tentunya sosok guru yang harus bisa menjadi contoh bagi para muridnya, karena kekuatan sejati seorang guru terletak pada keselarasan antara apa yang diajarkan dengan apa yang ia lakukan. Murid adalah cermin yang sempurna dari gurunya, mereka akan meniru apa yang gurunya lakukan. Ketika guru memungut sampah, maka mereka akan melakukan hal yang sama. Hal ini juga berlaku dalam lingkup keluarga dan masyarakat, keajaiban sejati akan terjadi jika tiga pilar ini bersatu dalam harmoni yang sempurna.