IDN Times Xplore/Khaos Reborn_SMAS Averos
Permasalahan sampah menjadi salah satu isu lingkungan utama di Indonesia. Peneliti Pusat Riset Oseanografi BRIN mencatat, setiap tahun lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut. Sayangnya, kurang dari 20% yang berhasil masuk kembali ke sistem daur ulang, sementara sebagian besar lainnya tidak terkelola dengan baik dan berakhir mencemari perairan.
Upaya pengelolaan sampah plastik umumnya dilakukan melalui konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Program ini menjadi langkah utama masyarakat dalam mengurangi timbunan sampah, disertai dengan berbagai bentuk sosialisasi dari pemerintah. Namun, implementasinya belum optimal. Hal ini terlihat pada kondisi pantai-pantai di Kota Sorong yang masih dipenuhi sampah. Data menunjukkan bahwa sampah di wilayah tersebut didominasi oleh sampah organik (51,37%) dan plastik (17,12%).
Keberadaan sampah plastik menjadi ancaman serius karena berpotensi terurai menjadi mikroplastik. Partikel-partikel ini dapat masuk ke rantai makanan melalui ikan dan biota laut lainnya, sehingga tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia.
Kondisi ini semakin memprihatinkan jika dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar hasil laut Indonesia berasal dari Papua Barat Daya, khususnya Kota Sorong (TimeNews.co.id). Wilayah ini dikenal sebagai salah satu sentra perikanan, dengan masyarakat yang rutin mengonsumsi hasil tangkapan laut seperti tuna, cakalang, tongkol, kerapu, kakap merah, dan tenggiri. Ironisnya, kesadaran masyarakat terhadap kelestarian biota laut masih tergolong rendah, meskipun kehidupan mereka sangat bergantung pada sumber daya tersebut.
Selain menjadi sumber pangan, keindahan pantai di Kota Sorong juga memiliki nilai strategis sebagai daya tarik wisata alam. Namun, pencemaran sampah plastik yang terus meningkat berpotensi merusak citra pariwisata sekaligus mengancam keberlanjutan sumber daya laut yang menjadi penopang ekonomi dan kehidupan masyarakat setempat.
Persoalan sampah plastik di wilayah pesisir tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menimbulkan dampak merugikan bagi masyarakat dan biota laut. Salah satu dampak utama adalah terkontaminasinya hewan laut oleh sampah plastik, yang kemudian dapat mengancam kesehatan manusia melalui rantai makanan. Selain itu, sampah plastik yang terurai menjadi mikroplastik berpotensi mencemari air dan tanah, sehingga memperburuk kualitas lingkungan.
Bagi para nelayan, keberadaan plastik di laut juga menimbulkan ancaman langsung. Sampah yang tersangkut pada baling-baling atau mesin kapal dapat merusak peralatan, meningkatkan biaya perbaikan, dan mengganggu aktivitas melaut. Di sisi lain, tumpukan sampah di pesisir menurunkan daya tarik wisata pantai, yang pada akhirnya berdampak pada sektor ekonomi daerah.
Tidak hanya itu, pengelolaan sampah yang tidak efektif menimbulkan beban biaya tinggi bagi pemerintah maupun masyarakat. Kondisi ini, jika dibiarkan, dapat memicu kerusakan lingkungan yang lebih parah dan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, seperti banjir akibat saluran air yang tersumbat sampah.
Menurut Kemenkes (2023), mikroplastik yang masuk ke tubuh melalui makanan dan minuman dapat menimbulkan iritasi, yang bila dibiarkan berpotensi menyebabkan peradangan hingga memicu tumor atau kanker. Plastik SmartCities juga mencatat bahwa paparan mikroplastik berdampak pada kesehatan, termasuk gangguan sistem endokrin dan masalah pencernaan.
Permasalahan ini terus berlanjut karena solusi yang ada belum efektif serta rendahnya kepedulian masyarakat terhadap pengurangan limbah plastik. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu melakukan langkah pembenahan yang lebih serius, antara lain membentuk komunitas peduli lingkungan, memasang papan imbauan agar masyarakat membuang sampah pada tempatnya, serta menyediakan fasilitas tempat sampah yang memadai.
Salah satu sistem pengelolaan sampah yang dinilai efektif adalah bank sampah, karena melibatkan partisipasi masyarakat dan memberi timbal balik yang menguntungkan. Namun, program ini masih terkendala prosedur yang belum stabil sehingga mengurangi efektivitasnya. Selain itu, penerapan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) juga penting, karena mendorong kreativitas sekaligus meningkatkan peran masyarakat dalam mengurangi limbah plastik. Namun, belum sepenuhnya berhasil dalam menarik perhatian dan kontribusi masyarakat.
Untuk mengurangi pencemaran laut akibat sampah plastik, kami menginisiasi tema “Muda Beraksi! Selamatkan Bumi lewat Edukasi dan Teknologi” dengan gerakan “Pedulimu, Selamatku”. Melalui gerakan ini, limbah plastik diharapkan dapat dikelola menjadi produk bermanfaat, misalnya paving berbahan dasar plastik.