IDN Times Xplore/Neuvera_SMAN 21 Makassar
Kata “Green Technology” bukanlah sebuah kata yang asing bagi kita terutama dikalangan generasi muda. Namun, apakah kalian tahu pengetian dari “Green Technology” itu sebenarnya?
Pemanasan global sudah dicatat sejak Fourier (1824) dan Arrhenius (1896) yang menghubungkan pembakaran fosil dengan naiknya CO₂, Istilah global warming itu sendiri baru populer lewat Broecker (1975).
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara dan organisasi internasional turut andil dalam menyuarakan keprihatinan terhadap meningkatnya pemanasan global, contohnya seperti UNESCO. Disinilah istilah green technology atau teknologi ramah lingkungan mengambil peran. Green technology merupakan inovasi yang dirancang lebih ramah terhadap linkungan yang bertujuan untuk mengurangi polusi atau limbah yang diciptakan oleh aktivitas manusia. Sayangnya, di negeri kita, inovasi semacam ini lebih banyak menjadi wacana ketimbang kenyataan.
Teknologi hijau seharusnya menjadi senjata utama dalam menghadapi pemanasan global. Namun di Indonesia, ia sering berhenti sebatas jargon, pajangan pameran, atau teori di buku pelajaran. mirip benda mati di museum. Padahal, jika benar-benar diterapkan, teknologi ini mampu memberi dampak nyata bagi lingkungan sekaligus masa depan generasi muda. Kita masih saja tertinggal karena rendahnya literasi akan betapa pentingnya menciptakan teknologi ramah lingkungan milik sendiri, serta kurangnya kesadaran akan upaya menjaga kelestarian lingkungan sekitar,
Rendahnya Literasi Teknologi Ramah Lingkungan
Literasi teknologi ramah lingkungan bukan hanya sekadar paham istilah teknis saja, akan tetapi juga mencakup kesadaran, keterampilan serta kebiasaan dalam memanfaatkan suatu teknologi yang mendukung keberlangsungan hidup. Sayangnya, literasi ini masih tergolong sangat rendah di Indonesia. Laporan BPS dan penelitian menunjukkan bahwa meski isu lingkungan makin populer, akan tetapi adopsi teknologi hijau justru masih sangat terbatas. Panel surya, sistem pengelolaan limbah, hingga inovasi hemat energi masih mahal atau tidak relevan dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya integrasi isu lingkungan dalam pendidikan yang lebih formal. Dalam mata pelajaran seperti IPA ataupun Geografi sendiri memang membahas mengenai isu-isu lingkungan, akan tetapi seringkali pembahasan tersebut berhenti pada teori saja. Siswa jarang mendapat kesempatan untuk melihat langsung bagaimana teknologi hijau bekerja. Sehingga integritaskita dalam menjaga lingkungan menjadi tidak ada.
Sekolah Sebagai Penyumbang Sampah
Ironisnya, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi teladan justru sering menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar. Alih-alih menjadi ruang yang menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini, sekolah masih menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan limbahnya.
Sebagai contoh, penelitian tahun 2023 di Kota Mataram, NTB, yang melakukan pengukuran langsung pada 14 SD (dari total 177 sekolah), mencatat bahwa setiap siswa dapat menghasilkan sekitar 0,02 kg sampah per hari, dengan komposisi 42% plastik dan 42% organik. Jika sebuah SD memiliki 300 siswa, maka total sampah yang dihasilkan dapat mencapai sekitar 12 kg per hari,
Padahal, sekolah adalah arah tren masyarakat. Apa yang diterapkan di sekolah akan terbawa ke rumah dan komunitas. Bayangkan jika kantin bebas plastik, sistem paperless, atau energi terbarukan benar-benar diterapkan siswa akan terbiasa sejak dini dengan gaya hidup hijau. Sayangnya, banyak sekolah terjebak pada paradigma lama: keterbatasan dana, kurikulum padat, dan tenaga pendidik yang belum terlatih.
Kampanye Tanpa Aksi
Poster, lomba, dan seminar bertema lingkungan sangat marak, tetapi sering hanya berlangsung singkat tanpa keberlanjutan. Panel surya dipamerkan hanya untuk acara, mesin pengolah sampah dibiarkan berdebu. Program seperti “sehari tanpa plastik” pun cepat dilupakan begitu selesai. Semua ini menunjukkan adanya jurang besar antara narasi dan implementasi.
Gerakan S A T U L A N G K A H
Berbicara soal lingkungan saat ini berarti bahwa seluruh golongan, termasuk institusi pendidikan sekolah harus mencari jalan keluar bersama untuk mengarangi dampak dari kerusakan lingkungan. Maka dari itu, kami menghadirkan sebuah gerakan sederhana yang bertujuan untuk mengajak seluruh warga sekolah untuk mulai melakukan hal-hal sederhana yang dapat menjaga lingkungan di sekitar kita. Gerakan ini kami sebut dengan Gerakan LANGKAH yang menghadirkan langkah nyata sederhana yaitu :
1. Lakukan penghematan terhadap listrik
2. Aktif menanam tumbuhan
3. Nyalakan kesadaran akan penggunaan kertas berlebih
4. Gunakan botol dan kotak bekal dari rumah
5. Kelola sampah dengan menggunakan reduce, reuse & recycle
6. Ajak orang disekitar untuk menjaga lingkungan
7. Hindari menggunakan plastik yang berlebih
Langkah kecil yang kita lakukan mungkin tampak biasa saja, tapi bisa membawa perubahan nyata. Dengan dukungan para pendidik yang menanamkan sikap peduli lingkungan kepada siswa, kepedulian ini bisa tumbuh lebih luas. Mari ambil langkahmu sekarang, jangan biarkan teknologi hijau hanya menjadi “Obsolete Museum” yang berhenti pada jargon tanpa aksi.