IDN Times Xplore/REALINE_SMAN 3 MALANG
Masalah yang Dekat dengan Kita
Pagi yang seharusnya semangat buat berangkat sekolah, ini malah bikin malas, bukan cuma karena ngantuk, tapi karena polusi. Baru keluar rumah saja udah disambut asap kendaraan. Jalanan penuh debu, bikin rambut yang udah dirapikan malah kusut lagi. Seragam sekolah yang niatnya ingin keliatan bersih, malah jadi kotor. Yang bikin makin kesal, harusnya pagi itu identik sama udara segar biar semangat, tapi yang kita dapat justru langit abu-abu penuh asap, dada sesak, dan wajah kusam sebelum sampai kelas. Jadi, gimana mau belajar dengan fresh kalau dari berangkat saja udah kucel, capek, dan rasanya kayak dapet “oleh-oleh” asap dari jalanan?
Dan ternyata, pengalaman kayak gini bukan cuma kita yang rasain. Banyak orang juga menghadapi hal serupa, bahkan yang lebih rentan, mulai dari anak-anak, orang tua, sampai teman-teman disabilitas. Tapi, di antara kelompok rentan itu, kita sebagai pelajar juga termasuk yang perlu diperhatikan. Aktivitas luar ruangan seperti olahraga, ekstrakurikuler, atau sekadar nunggu jemputan bikin kita tanpa sadar menghirup polusi lebih banyak.
Menurut catatan World Health Organization (WHO) tahun 2018, 9 dari 10 orang di dunia menghirup udara yang nggak layak. Hingga 2020, kondisi ini belum membaik karena polusi udara di dunia masih gagal memenuhi pedoman WHO. Akibatnya, lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang dipicu polusi udara, seperti stroke, kanker paru-paru, dan penyakit jantung. Artinya, hampir seluruh populasi dunia setiap hari terpapar udara yang berbahaya bagi kesehatan. Dan masalahnya bukan sekadar udara kotor yang jadi penyebab sesak napas, tapi efek jangka panjangnya yang merusak kesehatan, menurunkan kualitas hidup, merusak perkembangan otak anak, dan parahnya memperpendek harapan hidup.
Di Indonesia sendiri, terutama kawasan perkotaan seperti Jabodetabek, transportasi jadi salah satu penyumbang terbesar polusi udara. “Penyumbang polusi terbesar di Jabodetabek adalah kendaraan atau transportasi,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti dikutip IDN Times. Pernyataan ini diperkuat dengan data bahwa sektor transportasi menyumbang 44% dari total polusi udara, lebih besar dibanding industri energi 31%, perumahan 14%, manufaktur industri 10%, serta komersial 1%. Angka pada transportasi tersebut nggak hanya untuk kendaraan besar seperti truk, tapi juga dari kebiasaan kita menggunakan kendaraan bermotor untuk aktivitas jarak dekat daripada jalan kaki. Kebiasaan kecil inilah yang telah jadi salah satu penyebab utama memburuknya kualitas udara.
Tanpa disadari, rutinitas yang kita anggap praktis justru menambah beban lingkungan. Mau ke warung depan gang atau sekadar ambil barang di rumah teman yang cuma berjarak beberapa ratus meter, motor selalu jadi pilihan. Tapi, kalau jarak segitu saja pakai motor, bukankah kita ikut memperparah polusi? Padahal, perjalanan itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Mudah, sehat, dan tanpa emisi.
Tapi tentu saja, nggak semua tujuan bisa dijangkau dengan berjalan kaki, apalagi bagi kita pelajar yang harus menempuh jarak cukup jauh menuju sekolah setiap harinya. Di sinilah peran transportasi bersama seperti bus sekolah menjadi sangat penting. Di Beberapa kota besar, pemerintah udah menyediakan bus sekolah gratis di beberapa titik. Sebagai pelajar, kita punya pilihan; mengulang kebiasaan lama dengan kendaraan pribadi atau mencoba solusi yang lebih sehat dan ramah lingkungan lewat fasilitas bus sekolah ini.
Namun, meskipun penggunaan bus sekolah mulai digalakkan di berbagai daerah dan bahkan udah cukup banyak peminatnya, masih ada kendala yang membuat layanan ini belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu tantangan utamanya adalah minimnya akses informasi yang memadai. Banyak pelajar dan orang tua belum mengetahui rute lengkap, jadwal keberangkatan, hingga prosedur naik turun bus. Hal-hal yang membingungkan ini seringkali menimbulkan kekhawatiran dan berakhir memilih kendaraan pribadi karena dianggap lebih praktis. Padahal satu bus bisa menampung hingga 40 pelajar sekaligus. Itu artinya, 40 kendaraan nggak perlu memenuhi jalan dan mencemari udara tiap harinya. Bayangkan jika satu sekolah memaksimalkan penggunaan bus sekolah, betapa besar dampaknya bagi lingkungan sekitar.
Saat Teknologi Ikut Menyelamatkan Bumi
Sebagai upaya untuk mengatasi kekhawatiran, perlu dikembangkan sebuah aplikasi dan website khusus untuk layanan bus sekolah yang pastinya membutuhkan dukungan pemerintah, kami beri nama dia T.A.P. (Tahu, Aksi, Peduli). Prosedur penggunaannya dimulai saat pelajar naik bus lalu melakukan tap kartu pada mesin yang tersedia dan secara otomatis mengaktifkan fitur live tracking yang dapat diakses melalui aplikasi, sehingga orang tua bisa memantau perjalanan anaknya. Di dalam aplikasi ini juga tersedia informasi lengkap terkait rute, jadwal keberangkatan, serta fitur rating supir, sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memastikan layanan berjalan sesuai standar. Menariknya, setelah turun dari bus, pelajar akan menerima ucapan terima kasih sebagai pengingat telah ikut menyelamatkan bumi dari polusi udara dan mendukung upaya pelestarian lingkungan.