Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang
IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Halo, Warriors! Kami tim Arunika II dari SMA Negeri 2 Jombang yang ikut berpartisipasi dalam lomba Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Arunika bermakna cahaya matahari yang terbit di ufuk timur. Filosofi ini menggambarkan semangat dan harapan baru anak muda sebagai agen perubahan. Masalah lingkungan yang kami angkat adalah isu limbah tekstil. Setiap tahunnya, limbah tekstil semakin menunjukkan angka peningkatan seiring dengan berkembangnya laju trend yang selalu berubah-ubah. Kecenderungan sikap FOMO juga ternyata memiliki korelasi terhadap peningkatan limbah tekstil di dunia. Lalu, apa yang terjadi? Memangnya, apakah isu limbah tekstil pantas menjadi urgensi sama seperti limbah plastik?

Di karya mading kali ini, kami menghadirkan Kino, Si Kucing Kuwuk yang hampir punah akibat kerusakan lingkungan, sebagai tokoh utama. Kino akan menemani kalian dalam menjelajahi informasi isu limbah tekstil dari pagi hingga petang.

Tim redaksi kami terdiri dari:

  • Guru Pendamping: Diki Fajar Abdurrahman, S.Pd

  • Ketua tim: Keyna Kencana Wungu

  • Penulis: Keyna Kencana Wungu, Zeifanya Putri Jesdianto

  • Ilustrator: Brilian Adam Ardiansyah

  • Fotografer/videografer: Zaulat Javier Sidik

  • Editor/layout: Erlangga Putra Wijaya Sugiarto, M. Mika Fardin

Karya ini dibuat untuk keperluan kompertisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Mading ini ditampilkan apa adanya tanpa proses penyuntingan dari redaksi IDN Times.

Esai: Latar Belakang

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Di tengah ramainya pusat perbelanjaan, manekin-manekin sering berganti pakaian mengikuti desir trend busana yang tak pernah berhenti. Seiring berkembangnya dunia digital, pasar fashion menjelma ke dalam genggaman tangan, menyuguhkan pengalaman belanja dan diskon besar-besaran secara online. Hal ini semakin mempermudah konsumen untuk mendapatkan pakaian apapun yang mereka mau walaupun lemari sudah penuh. Namun, di balik gemerlapnya etalase fashion itu, terdapat rahasia kelam yang jarang dibicarakan orang-orang.

Sejak revolusi industri pada abad ke-18, mesin dan pabrik berkembang termasuk di bidang fashion. Pakaian bagus yang dulu hanya dikenakan oleh orang-orang dan selebritas papan atas, kini sudah mampu dijangkau oleh masyarakat umum lewat industri fashion, yang memproduksi banyak sekali model pakaian dan dijual murah di pasar. Di tambah lagi, munculnya media sosial seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan lain-lain semakin mempermudah interaksi antara influencer atau publik figur dengan pengikutnya. Masyarakat cenderung mengikuti gaya hidup orang lain yang dikaguminya. Selaras dengan teori sosiologi yang dikemukakan oleh Gabriel Tarde pada abad ke-19 tentang proses interaksi imitasi.

Zaman sekarang fenomena tersebut dikenal dengan istilah FOMO (Fear Of Mising Out) atau takut ketinggalan. Lidah-lidah digital para influencer meluncur manis memuji dan memamerkan busananya. Jutaan pasang mata pun terhipnotis, terbujuk untuk merogoh dompet demi gaya yang fana sehingga daya konsumsi masyarakat meningkat. Terlebih lagi, marak trend berpakaian seperti outfit kalcer, skena, Y2K, dan sebagainya. Menurut laporan Product Content Benchmark 2025, 49% konsumen telah melakukan pembelian berdasarkan rekomendasi influencer dalam 12 bulan terakhir dengan 42% konsumen berusia 18-34 tahun melakukan pembelian di TikTok Shop. Lagi-lagi, pergantian trend berpakaian di media sosial yang cepat juga dikarenakan pengaruh dari influencer dan algoritma media sosial itu sendiri.

Terbukti pada data statistik kuisioner yang sudah diisi oleh siswa-siswi SMAN 2 Jombang, menunjukkan bahwa 47,2% dari 108 responden, mengikuti trend fashion di media sosial, namun masih mengkritisi trend tersebut. Sedangkan 16,7% selalu mengikuti trend yang beredar. Dengan frekuensi daya beli pakaian setiap bulannya 2-3 kali sebanyak 59,4%. Responden yang membeli pakaian baru karena takut ketinggalan trend sebanyak 15,7%. Kemudian, 36,4% lainnya tidak mengikuti trend fashion di media sosial

Inilah yang disebut dengan fastfashion, bisnis atau industri yang memproduksi pakaian secara terus menerus dengan harga yang murah. Umumnya, label designer butuh waktu beberapa bulan untuk menciptakan satu model pakaian. Tapi berbeda dengan fastfashion, mereka hanya menjiplak model yang sedang trend dan dijual dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Dalam sudut pandang ekonomi, industri fastfashion memiliki dampak positif terkait bertambahnya lapangan kerja di Indonesia. Namun, itu hanyalah kulitnya, nyatanya sebanyak 4000 buruh industri fastfashion di Indonesia tidak diberi upah sebagaimana mestinya pada tahun 2017. Bahkan praktek menggaji di bawah standar oleh industri fastfashion di beberapa negara masih berlangsung sampai sekarang.

Tak hanya cepat produksi, pakaian fastfashion juga cepat terbuang. Dampaknya alam ikut menjerit dalam diam. Produksi masal pakaian yang mengikuti perkembangan trend membuat industri fastfashion menjadi industri penyumbang limbah terbesar kedua setelah industri tambang minyak. Karena melepas emisi karbon sebesar 10% dari total global. Emisi karbon bisa memengaruhi intensitas gas rumah kaca sehingga ikut berperan dalam masalah perubahan iklim bumi.

Industri fastfashion tidak lepas dengan bahan produksi berupa serat sintetis seperti polyster, akrilik, dan nilon. Bahan tersebut dapat menimbulkan mikroplastik. Laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan bahwa tekstil sintetis seperti polyester menyumbang 35% dari mikroplastik di lautan, yang tak bisa hancur, hanya mengendap, menjadi racun kecil yang tak kasat mata. Perairan yang tercemar bahan kimia akan mengancam kehidupan biota laut sehingga berpotensi memunculkan berbagai macam penyakit. Faktanya, mikroplastik juga bisa terkandung di udara dan menyebabkan masalah kesehatan seperti gangguan pernafasan sampai sistem reproduksi. Belum lagi limbah kain perca dan pewarna kimia yang semakin mencemari lingkungan.

Esai: Kesimpulan

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Industri fastfashion diam-diam membuang jejak kotor ke aliran sungai global sebanyak 20% total limbah. Air bersih kian langka, sebab satu kaos sederhana menelan 2.700 liter air, seolah bumi hanya ladang untuk dieksploitasi. Tak hanya sampai dari situ, perilaku over-consumption juga memperburuk dampak ke lingkungan karena pakaian yang hanya dikenakan 1-3 kali saja akan terbuang menjadi limbah tekstil.

Industri fastfashion menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menekan biaya produksi seminimal mungkin. Sehingga mereka menggunakan bahan berkualitas rendah yang dapat mengancam lingkungan seperti serat sintetis. Maka dari itu, sebetulnya pemerintah sudah membuat regulasi terkait Standar Industri Hijau demi lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Seperti pada pasal:

1) Pasal 79 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. Bahan Baku, bahan penolong, dan energi; b. proses produksi; c. produk; d. manajemen pengusahaan; dan e. pengelolaan limbah.

2) Pasal 80 ayat (4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri.

Selain regulasi pemerintah, kita juga bisa ikut serta membantu mengatasi isu fastfashion dan limbah tekstil. Kebanyakan orang berpikir, thrifting atau bisnis menjual kembali pakaian bekas tampak sebagai solusi terbaik dalam isu fastfashion ini, ternyata tidak juga. Thrifting justru bisa membahayakan UMKM industri tekstil di Indonesia. Adapun kasus tertular penyakit dari baju bekas hasil thrifting yang sempat viral membuat konsumen jadi lebih parno. Hal yang bisa kita lakukan adalah:

  1. Mengontrol diri dan jadi audiens yang lebih bijak agar tidak mudah terbawa arus mengikuti trend-trend media sosial yang bersifat hedonisme.

  1. Mulai mengenali brand-brand yang termasuk ke dalam industri fastfashion.

  2. Merawat baju yang sudah ada di lemari dengan sepenuh hati.

  3. Memanfaatkan media sosial untuk mencari tips mix and match outfit dengan menggunakan pakaian yang sudah ada, daripada membeli satu setel baju baru demi satu trend yang mungkin saja besok sudah dianggap gak jaman lagi.

Isu limbah tekstil tidak kalah penting untuk dapat perhatian lebih seperti limbah plastik. Masih jarang orang memperhatikan ke mana pakaian lamanya pergi. Kini saatnya generasi digital menjadi agen perubahan. Dengan satu keputusan bijak saat membeli pakaian, kita bisa menjaga lingkungan, menghargai tenaga buruh, dan mewariskan bumi yang lebih sehat karena keputusan pembeli menentukan nasib bumi di kemudian hari.

Infografik: Fast Fashion, Slow Destruction

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Infografik kami yang berjudul Fast Fashion, Slow Destruction berisi mengenai informasi fast fashion secara umum. Mulai dari definisi, dampak, dan solusi. Infografik ini juga memuat data yang difokuskan pada data statistik SMA Negeri 2 Jombang melalui kuisioner yang disebarkan melalu google form tentang kebiasaan sehari-hari yang berkaitan dengan trend fast fashion dan pengelolaan limbah tekstil. Sehingga data grafik yang ada merupakan data ril tanpa rekayasa untuk memperkuat isi esai dan infografik kami mengenai limbah tekstil.

Komik: Recycle to Style

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Komik berjudul Recycle to Style menceritakan asal usul pakaian ikonik Kino, maskot mading Arunika II. Diceritakan bahwa outfit kalcer Kino ternyata lahir dari bahan baku yang dianggap “sampah”.

FunFact

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Cerpen: Jejak Perca Di Rimba Yang Terluka

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Cerpen

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Cerita pendek karya Zeifanya yang berjudul “Jejak Perca di Rimba yang Terluka” mengisahkan lore Kino sebagai penyelamat kampung halamannya dari pencemaran industri tekstil fast fashion yang merugikan. Cerpen ini dikemas dengan alur ringan, tetapi masih menekankan pesan moral bagaimana limbah industri tekstil fast fashion bisa mengancam ekosistem di suatu lingkungan. Dampaknya juga disampaikan secara gamblang agar pembaca semakin mudah teredukasi tentang bahayanya industri fast fashion terhadap makhluk hidup maupun lingkungan.

Rubrik Diskusi—Infografik Pertamina

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Rubrik diskusi ini membahas tentang bagaimana peran Pertamina dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 melalui penerapan energi hijau dan inovasi berkelanjutan. Di sini dijelaskan mengenai konsep dari Net Zero, peran Pertamina dalam mengurangi konsumsi energi fosil, pengembangan bahan bakar ramah lingkungan seperti Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan bioetanol, serta penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) dan skema RAE (Regular, Alternative, Emergency).

Infografis ini juga memperlihatkan data penjualan BBM per tahun sebagai gambaran kontribusi nyata Pertamina terhadap sendi dinamika kegiatan masyarakat sehingga pertamina dianggap vital dan sudah semestinya menerapkan prinsip keberlanjutan demi lingkungan asri hari ini bahkan sampai di masa yang akan datang.

Foto Bercerita: Reverie Of Arunika

IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang

Hari mulai gelap, tanda perjalanan kami sudah menuju akhir. Foto bercerita “Reverie Of Arunika II” menggambarkan perjalanan yang penuh keseruan dan kreativitas Arunika II selama berproses dalam lomba Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Kilas balik petualangan kami seolah diputar kembali melalui roll film yang penuh memori. Setiap kata, goresan kanvas, jepretan kamera, dan pengaturan tata letak bersinergi menjadi kesatuan yang melahirkan hasil karya penuh pengetahuan baru.

Harapan kami, mading ini bisa menggugah kesadaran pembaca betapa lingkungan sangat penting untuk dijaga. Bahkan dalam hal sekecil memutuskan untuk membeli barang pun ternyata bisa memengaruhi keseimbangan lingkungan. Banyak hal yang terjadi di sekitar kita, sebagai agen perubahan dan anak muda, tugas kita adalah peka. Peka terhadap isu-isu yang ada di sekitar kita. Apabila tidak dimulai dari diri sendiri, lalu siapa yang akan menjaga?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team