IDN Times Xplore/ARUNIKA II_SMAN 2 Jombang
Di tengah ramainya pusat perbelanjaan, manekin-manekin sering berganti pakaian mengikuti desir trend busana yang tak pernah berhenti. Seiring berkembangnya dunia digital, pasar fashion menjelma ke dalam genggaman tangan, menyuguhkan pengalaman belanja dan diskon besar-besaran secara online. Hal ini semakin mempermudah konsumen untuk mendapatkan pakaian apapun yang mereka mau walaupun lemari sudah penuh. Namun, di balik gemerlapnya etalase fashion itu, terdapat rahasia kelam yang jarang dibicarakan orang-orang.
Sejak revolusi industri pada abad ke-18, mesin dan pabrik berkembang termasuk di bidang fashion. Pakaian bagus yang dulu hanya dikenakan oleh orang-orang dan selebritas papan atas, kini sudah mampu dijangkau oleh masyarakat umum lewat industri fashion, yang memproduksi banyak sekali model pakaian dan dijual murah di pasar. Di tambah lagi, munculnya media sosial seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan lain-lain semakin mempermudah interaksi antara influencer atau publik figur dengan pengikutnya. Masyarakat cenderung mengikuti gaya hidup orang lain yang dikaguminya. Selaras dengan teori sosiologi yang dikemukakan oleh Gabriel Tarde pada abad ke-19 tentang proses interaksi imitasi.
Zaman sekarang fenomena tersebut dikenal dengan istilah FOMO (Fear Of Mising Out) atau takut ketinggalan. Lidah-lidah digital para influencer meluncur manis memuji dan memamerkan busananya. Jutaan pasang mata pun terhipnotis, terbujuk untuk merogoh dompet demi gaya yang fana sehingga daya konsumsi masyarakat meningkat. Terlebih lagi, marak trend berpakaian seperti outfit kalcer, skena, Y2K, dan sebagainya. Menurut laporan Product Content Benchmark 2025, 49% konsumen telah melakukan pembelian berdasarkan rekomendasi influencer dalam 12 bulan terakhir dengan 42% konsumen berusia 18-34 tahun melakukan pembelian di TikTok Shop. Lagi-lagi, pergantian trend berpakaian di media sosial yang cepat juga dikarenakan pengaruh dari influencer dan algoritma media sosial itu sendiri.
Terbukti pada data statistik kuisioner yang sudah diisi oleh siswa-siswi SMAN 2 Jombang, menunjukkan bahwa 47,2% dari 108 responden, mengikuti trend fashion di media sosial, namun masih mengkritisi trend tersebut. Sedangkan 16,7% selalu mengikuti trend yang beredar. Dengan frekuensi daya beli pakaian setiap bulannya 2-3 kali sebanyak 59,4%. Responden yang membeli pakaian baru karena takut ketinggalan trend sebanyak 15,7%. Kemudian, 36,4% lainnya tidak mengikuti trend fashion di media sosial
Inilah yang disebut dengan fastfashion, bisnis atau industri yang memproduksi pakaian secara terus menerus dengan harga yang murah. Umumnya, label designer butuh waktu beberapa bulan untuk menciptakan satu model pakaian. Tapi berbeda dengan fastfashion, mereka hanya menjiplak model yang sedang trend dan dijual dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Dalam sudut pandang ekonomi, industri fastfashion memiliki dampak positif terkait bertambahnya lapangan kerja di Indonesia. Namun, itu hanyalah kulitnya, nyatanya sebanyak 4000 buruh industri fastfashion di Indonesia tidak diberi upah sebagaimana mestinya pada tahun 2017. Bahkan praktek menggaji di bawah standar oleh industri fastfashion di beberapa negara masih berlangsung sampai sekarang.
Tak hanya cepat produksi, pakaian fastfashion juga cepat terbuang. Dampaknya alam ikut menjerit dalam diam. Produksi masal pakaian yang mengikuti perkembangan trend membuat industri fastfashion menjadi industri penyumbang limbah terbesar kedua setelah industri tambang minyak. Karena melepas emisi karbon sebesar 10% dari total global. Emisi karbon bisa memengaruhi intensitas gas rumah kaca sehingga ikut berperan dalam masalah perubahan iklim bumi.
Industri fastfashion tidak lepas dengan bahan produksi berupa serat sintetis seperti polyster, akrilik, dan nilon. Bahan tersebut dapat menimbulkan mikroplastik. Laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan bahwa tekstil sintetis seperti polyester menyumbang 35% dari mikroplastik di lautan, yang tak bisa hancur, hanya mengendap, menjadi racun kecil yang tak kasat mata. Perairan yang tercemar bahan kimia akan mengancam kehidupan biota laut sehingga berpotensi memunculkan berbagai macam penyakit. Faktanya, mikroplastik juga bisa terkandung di udara dan menyebabkan masalah kesehatan seperti gangguan pernafasan sampai sistem reproduksi. Belum lagi limbah kain perca dan pewarna kimia yang semakin mencemari lingkungan.