IDN Times Xplore/Ecolyn_SMAN 1 Pontianak
FOMO MERAJA, HIJAU JADI BIASA
Sadar nggak sih kalau akhir-akhir ini cuaca terasa sangat panas. Seakan sengatan matahari yang terik membuat aktivitas menjadi gak nyaman banget. Bahkan di area ekuator, kota Pontianak suhunya bisa mencapai 36,2° C pada tahun 2024, loh! Bayangin aja kalau anomali satu ini gak di tangani, bisa-bisa nyampe 40° C nih. Sebenarnya, tanda ini bahaya gak sih bagi peradaban manusia? Meski ilmu dan teknologi semakin canggih, nyatanya semua itu menjadi mimpi buruk buat bumi, yaitu climate change.
Mendengar istilah climate change (perubahan iklim), pasti menjadi kalimat yang tidak asing bukan? Climate change adalah sebuah fenomena kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi yang tidak rasional. Berbeda dengan climate variability, faktor utama dari climate change ialah perbuatan manusia yang tinggal di bumi ini. Dari aktivitas berkendara, berternak, pembakaran hingga industri menjadi alasan besar dari panasnya kondisi bumi.
Tetapi semakin ke sini, dampaknya semakin nyata di depan mata. Es kutub mulai mencair, kebakaran hutan yang rentan terjadi, dan badai ekstrem yang terus bermunculan. Ironisnya, masih saja ada masyarakat yang menganggap kejadian ini cuman suatu hal biasa. Fakta ini dapat dibuktikan pada tahun 2024 dari web Voice of America Indonesia (VOAIndonesia, 2024), tahun 2024 ditetapkan sebagai tahun terpanas dengan suhu yang melampaui ambang batas, yakni 1,5 derajat Celcius. Kondisi ini telah melanggar ketetapan yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris.
Adapun satu bentuk kontribusi pemerintah yang belum cukup optimal dalam masalah climate change, yaitu dengan menetapkan materi sejak SD hingga SMA melalui Keputusan Capaian pembelajaran pada kurikulum merdeka. Namun, tujuan tersebut belum dapat dicapai dengan optimal karena masyarakat masih acuh dan kerap melakukan aktivitas kerusakan lingkungan. Di sinilah pentingnya pendekatan yang lebih kreatif. Bukan hanya mengedukasi dengan cara menyuruh dan membaca, tapi memberi contoh serta menanamkan rasa peduli melalui aksi nyata.
Keuntungan hidup di era digital saat ini, yakni suatu informasi dapat disebar dengan satu klik. Teknologi seperti gawai dapat menjadi sarana persuasif yang efektif untuk membujuk masyarakat berbuat positif. Demikian, banyak konten kreator maupun anak sekolah yang ikut menyuarakan masalah anomali climate change. Salah satunya ialah Pandawara Group yang muncul pada tahun 2022. Mereka menjadi viral bagi kalangan anak muda dalam kegiatan penghijauan, yakni pembersihan sampah. Seiring waktu, masyarakat mulai tertarik sehingga kembali sadar dan peduli. Bisa dibilang karena takut ketinggalan tren alias FOMO, orang jadi ikutan. Walau FOMO berdampak negatif, tapi dapat menjadi pemicu dalam berbuat kebaikan.
Kalau tren sekarang adalah peduli terhadap lingkungan, kenapa tidak dijadikan sebuah kebiasaan saja? Ternyata tren ini sering dikaitkan dengan sustainable. Konsep sustainable menekankan bahwa kita harus menggunakan sumber daya secukupnya dengan penuh rasa tanggung jawab agar kelak bumi dapat diwarisi ke generasi emas berikutnya. Tau gak si, ada cara simpel sebagai kader anti climate change. Salah satu caranya adalah metode T.H.I.N.K: Take a look (hati-hati), Handle (mengelola masalah), Inspire (menginspirasi orang lain), Nurture (perawatan lingkungan) dan Keep it green (tetap hijau). Semisal, membawa tempat bekal untuk menghindari plastik sekali pakai, menanam tanaman di lingkungan rumah atau sekolah dan berpartisipasi dalam kegiatan pembersihan lingkungan sekitar contohnya piket kelas.