Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orangtua otoriter
ilustrasi orangtua otoriter (unsplash.com/engin akyurt)

Intinya sih...

  • Pengasuhan otoriter fokus pada aturan tanpa penjelasan, menghambat perkembangan kognitif anak.

  • Otoriter parenting meningkatkan risiko masalah emosional pada anak, seperti kecemasan dan rendahnya rasa percaya diri.

  • Pengasuhan otoriter menghambat keterampilan sosial dan perkembangan kemandirian anak, serta berdampak negatif pada hubungan orang tua dan anak.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu merasa kebingungan antara mendisiplinkan anak dengan cara yang tegas, namun tetap penuh kasih sayang? Kadang, garis tipis antara pengasuhan yang sehat dan otoriter bisa sangat kabur. Dalam banyak kasus, orang tua mungkin tidak sadar bahwa mereka sudah memasuki wilayah pengasuhan yang bisa berdampak buruk bagi perkembangan anaknya. Otoriter parenting, meski tampaknya bisa mendisiplinkan anak dengan efektif, justru dapat menimbulkan konsekuensi yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.

Pengasuhan dengan pendekatan otoriter sering kali didorong oleh keinginan untuk kontrol yang ketat dan disiplin yang tinggi, namun kurang memperhatikan kebutuhan emosional anak. Di bawah ini, kita akan membahas beberapa fakta penting yang mungkin akan membuka mata kamu tentang bagaimana pola pengasuhan ini bekerja, dan apa yang harus kamu ketahui sebelum terlambat.

1. Pengasuhan otoriter berfokus pada aturan, bukan penjelasan

Ilustrasi seorang anak dan orangtua (Pexels.com/Monstera Production)

Pada dasarnya, pengasuhan otoriter lebih menekankan pada peraturan yang kaku tanpa ruang untuk diskusi atau pemahaman. Orang tua dengan gaya ini cenderung mengutamakan kepatuhan mutlak tanpa menjelaskan alasan di balik aturan tersebut. Hasilnya, anak-anak tumbuh dengan pemahaman yang terbatas tentang "kenapa" mereka harus mematuhi aturan tertentu, hanya mengerti bahwa mereka harus menuruti perintah orang tua tanpa pertanyaan.

Pola ini, meskipun terlihat efektif dalam menciptakan kepatuhan, sering kali mengabaikan perkembangan kognitif anak. Anak-anak tidak diajak untuk berpikir kritis atau mengerti mengapa suatu perilaku itu salah atau benar. Ketidakmampuan untuk berdiskusi dan memproses informasi bisa membuat mereka lebih sulit beradaptasi ketika menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan aturan ketat yang diajarkan di rumah.

2. Meningkatkan risiko pengembangan masalah emosional

Ilustrasi seorang anak perempuan (Pexels.com/Ron Lach)

Salah satu dampak jangka panjang dari pengasuhan otoriter adalah peningkatan risiko masalah emosional pada anak, seperti kecemasan, depresi, atau rendahnya rasa percaya diri. Ketika anak-anak terus-menerus merasa ditekan oleh aturan yang ketat tanpa ruang untuk mengekspresikan diri, mereka cenderung merasa kurang dihargai atau dimengerti. Perasaan ini bisa merusak hubungan emosional mereka dengan orang tua.

Selain itu, rasa takut yang sering kali menjadi bagian dari pengasuhan otoriter juga dapat menanamkan rasa cemas yang berkepanjangan pada anak. Anak-anak yang terus-menerus berada dalam tekanan untuk memenuhi harapan yang tidak realistis mungkin akan tumbuh dengan perasaan tidak aman tentang diri mereka sendiri, dan bahkan takut untuk mengambil inisiatif atau bertindak secara mandiri.

3. Menghambat keterampilan sosial anak

Ilustrasi seorang anak laki-laki (Pexels.com/jonas mohamadi)

Pengasuhan otoriter sering kali mengisolasi anak-anak dari pengalaman sosial yang sehat. Ketika anak selalu dipaksa untuk mengikuti aturan ketat tanpa bisa mengekspresikan pendapat atau berinteraksi dengan teman sebaya secara bebas, mereka cenderung kurang mengembangkan keterampilan sosial yang penting. Mereka mungkin merasa canggung atau tidak nyaman dalam situasi sosial karena tidak terbiasa dengan fleksibilitas atau perbedaan pendapat.

Di sisi lain, anak-anak yang terbiasa dengan otoriter parenting mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain di luar keluarga mereka. Mereka cenderung berfokus pada penghindaran konflik atau mendapatkan persetujuan orang lain, bukannya belajar cara berkomunikasi atau berinteraksi dengan cara yang lebih terbuka dan empatik.

4. Perkembangan kemandirian yang terhambat

Ilustrasi seorang anak perempuan dan seorang wanita (Pexels.com/Ron Lach)

Ketika anak selalu diberitahu apa yang harus dilakukan, kapan, dan bagaimana, kemampuan mereka untuk mengembangkan kemandirian bisa terhambat. Anak yang dibesarkan dengan pengasuhan otoriter sering kali tidak diberi kesempatan untuk membuat keputusan sendiri, belajar dari kesalahan, atau mengambil tanggung jawab atas pilihan mereka. Ini dapat membuat mereka canggung ketika harus menghadapi situasi yang membutuhkan ketegasan atau keputusan cepat.

Kemandirian adalah keterampilan penting yang perlu dipelajari sejak dini, dan jika anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkannya, mereka bisa tumbuh menjadi individu yang bergantung pada orang lain untuk memberi mereka arahan atau keputusan. Ini tentu saja akan mempengaruhi perkembangan karakter dan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.

5. Dampak negatif pada hubungan orang tua-anak

Ilustrasi seorang anak laki-laki (Pexels.com/cottonbro studio)

Hubungan antara orang tua dan anak bisa sangat terpengaruh oleh pengasuhan otoriter. Ketika orang tua terlalu menekan anak-anak dengan aturan yang ketat, hubungan mereka cenderung menjadi lebih bersifat transaksional, dengan sedikit ruang untuk kasih sayang atau kedekatan emosional. Anak-anak mungkin merasa terisolasi, bahkan jika orang tua mereka secara fisik hadir, karena mereka tidak merasa didukung secara emosional.

Pada akhirnya, pengasuhan yang terlalu otoriter dapat menciptakan jarak antara orang tua dan anak. Anak-anak yang merasa tidak dihargai atau dipahami cenderung mengembangkan sikap perlawanan atau menarik diri, yang membuat komunikasi dan koneksi emosional semakin sulit. Hal ini bisa memengaruhi hubungan jangka panjang, yang seharusnya dibangun dengan rasa saling percaya dan pengertian.

Pada akhirnya, penting untuk kita menyadari bahwa pengasuhan bukan hanya soal aturan dan disiplin. Ini adalah tentang menciptakan hubungan yang sehat, saling mendukung, dan memahami satu sama lain. Pengasuhan yang penuh kasih sayang dan komunikasi terbuka lebih mungkin menghasilkan anak yang sehat secara emosional dan siap menghadapi tantangan kehidupan dengan percaya diri. Kita tidak hanya mengasuh tubuh mereka, tetapi juga hati dan pikiran mereka.

Jika kita ingin melihat mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bahagia, kita harus belajar untuk memberi mereka ruang untuk tumbuh, belajar, dan menjadi diri mereka sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team