Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orangtua dan anak
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Anak tiger parenting merasa takut mengecewakan karena kelelahan fisik dan mental yang tidak bisa diungkapkan.

  • Anak-anak ingin didengar tanpa dinilai, namun seringkali merasa suaranya tidak berarti dalam pola asuh ketat.

  • Kebahagiaan sederhana anak sering terabaikan karena orangtua lebih memperhatikan prestasi akademis, membuat anak merasa terkekang.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dibesarkan dengan gaya tiger parenting kerap membuat anak terlihat disiplin, berprestasi, dan terarah. Dari luar, semuanya tampak baik-baik saja, bahkan kadang jadi kebanggaan keluarga besar. Tapi, di balik itu, ada sisi lain yang jarang terlihat: perasaan anak yang sering terpendam karena sulit diungkapkan. Mereka mungkin ingin bicara, tapi terbentur rasa takut, khawatir mengecewakan, atau bahkan bingung cara menyampaikannya.

Padahal, hal-hal yang tidak pernah terucap ini bisa jadi kunci penting untuk membangun hubungan orangtua dan anak yang lebih hangat. Dengan memberi ruang, sebenarnya banyak yang bisa mereka sampaikan. Nah, berikut ini adalah hal-hal yang sering sulit diungkapkan anak yang tumbuh dengan tiger parenting. Yuk, simak satu per satu!

1. "Aku capek, tapi aku takut mengecewakan"

ilustrasi anak merasa lelah (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Bagi anak dengan orangtua bergaya tiger parenting, kelelahan bukan cuma soal fisik, tapi juga mental. Setiap hari mereka dipenuhi jadwal, target, dan ekspektasi tinggi. Kadang mereka ingin berhenti sejenak, bernapas, atau sekadar bersantai tanpa beban. Namun, rasa takut membuat mereka menahan diri. Mereka khawatir kalau bilang "capek," orangtua akan menganggap mereka lemah, malas, atau tidak punya ambisi.

Akhirnya, mereka tetap menjalani semuanya meski dalam keadaan lelah. Di satu sisi, mereka ingin dipuji karena sudah berusaha keras. Di sisi lain, mereka takut pengakuan itu tidak akan datang jika hasilnya tidak sesuai harapan. Jadi, mereka memilih diam, menyembunyikan rasa capeknya, meskipun dalam hati ingin sekali mengatakan, "Aku sudah berusaha sebaik mungkin."

2. "Aku ingin didengar, bukan hanya dinilai"

ilustrasi seorang ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Anak-anak juga ingin didengar ceritanya, baik tentang hal besar maupun sepele. Tapi sering kali, ketika mereka mencoba berbicara, yang mereka dapat justru nasihat panjang atau penilaian. Rasanya seperti setiap kata yang keluar harus memenuhi standar tertentu. Mereka pun belajar menutup diri, merasa percuma bercerita kalau ujung-ujungnya akan dibandingkan atau dikoreksi.

Padahal, di balik sikap diam itu, mereka menyimpan banyak hal: cerita tentang sahabat, masalah di sekolah, atau mimpi kecil yang mungkin tak dianggap penting oleh orangtua. Mereka tidak selalu butuh jawaban atau solusi. Kadang, mereka hanya ingin didengarkan tanpa dihakimi. Tapi karena jarang mendapatkan kesempatan itu, banyak anak jadi merasa suaranya tidak berarti.

3. "Aku ingin coba hal yang aku suka"

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Bagi anak, kebahagiaan sederhana bisa datang dari hal-hal kecil yang mereka sukai. Sayangnya, dalam pola asuh ketat seperti tiger parenting, minat mereka kadang tidak dianggap serius. Orangtua cenderung mengarahkan anak pada hal-hal yang bergengsi atau dianggap menjamin masa depan, seperti pelajaran akademis atau prestasi tertentu. Anak yang punya hobi lain sering kali memilih diam, takut keinginannya dianggap buang-buang waktu.

Padahal, di dalam hati mereka ingin sekali mendapat kesempatan untuk bereksplorasi. Entah itu mencoba menggambar, menulis, bermain musik, atau olahraga. Aktivitas itu bukan hanya soal kesenangan, tapi juga cara untuk mengekspresikan diri. Ketika tidak ada ruang untuk itu, mereka merasa kehidupannya hanya berputar pada kewajiban tanpa ada warna lain.

4. "Aku tidak selalu bisa sempurna"

ilustrasi anak mengalami tekanan (pexels.com/Brett Sayles)

Kesalahan adalah hal yang wajar, tapi bagi anak dari orangtua yang menerapkan tiger parenting, kesalahan bisa terasa seperti dosa besar. Mereka didorong untuk selalu mencapai hasil maksimal, seakan-akan tidak ada ruang untuk gagal. Akibatnya, setiap kesalahan kecil bisa menimbulkan rasa bersalah yang besar. Anak pun cenderung menyembunyikan kegagalannya, takut dimarahi atau dibandingkan dengan anak lain.

Rasa takut ini lama-lama bisa membentuk pola pikir bahwa nilai diri mereka hanya diukur dari prestasi. Mereka jadi ragu untuk mencoba hal baru karena khawatir gagal. Padahal, kesempurnaan itu mustahil dicapai. Yang mereka butuhkan sebenarnya adalah dukungan ketika gagal, bukan hanya tepuk tangan saat berhasil.

5. "Aku ingin disayang tanpa syarat"

ilustrasi orangtua dan anak yang bahagia (pexels.com/Vlada Karpovich)

Di balik semua target dan pencapaian, kebutuhan anak yang paling mendasar sebenarnya sederhana: merasakan kasih sayang tanpa syarat. Mereka ingin tahu bahwa mereka dicintai bukan karena nilai rapor, bukan karena piala, tapi karena diri mereka sendiri. Sayangnya, hal ini sering jadi yang paling sulit diungkapkan.

Anak-anak bisa merasa cinta orangtua hanya muncul saat mereka sukses. Ketika gagal, mereka takut kehilangan kebanggaan itu. Lama-lama, mereka jadi ragu apakah kasih sayang yang mereka dapat benar-benar tulus atau hanya bergantung pada pencapaian. Padahal, momen sederhana seperti pelukan, kata-kata apresiasi, atau sekadar ditemani bisa membuat mereka merasa lebih dihargai sebagai individu, bukan sekadar "mesin prestasi".

Lima ungkapan di atas mungkin terdengar sederhana, tapi sebenarnya punya arti yang besar bagi anak yang tumbuh dengan pola asuh tiger parenting. Mereka sering kali menyimpan perasaan sendiri karena takut tidak dimengerti atau dianggap lemah. Kalau orangtua mau lebih peka dan memberi ruang, hubungan bisa jadi jauh lebih hangat dan sehat. Pada akhirnya, anak bukan hanya butuh diarahkan, tapi juga dipeluk, didengar, dan dicintai tanpa syarat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team