Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi aktivitas anak bersama orangtua
Ilustrasi aktivitas anak bersama orangtua (Pexels.com/RDNE Stock project)

Intinya sih...

  • Perbedaan pendapat tentang pola asuh menjadi tantangan utama dalam co-parenting.

  • Mengelola emosi dan ego setelah perpisahan penting untuk keputusan yang baik demi anak

  • Keterbatasan waktu dan energi membutuhkan perencanaan yang terstruktur dan kerjasama yang baik

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Co-parenting, atau pengasuhan bersama, bisa menjadi pengalaman yang menantang namun juga memberi banyak pelajaran berharga. Terlebih jika kamu dan pasangan sudah memutuskan untuk berpisah namun tetap ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Meski niatnya mulia, sering kali perbedaan pendapat, ego, atau bahkan kesalahpahaman justru menjadi rintangan yang membuat co-parenting terasa lebih rumit.

Jika kamu berpikir bahwa co-parenting itu hanya soal berbagi waktu dan tanggung jawab, kamu salah besar. Sebab, dibalik itu semua ada perasaan dan dinamika yang harus dihadapi dengan bijak. Lalu, apa saja tantangan yang bisa muncul dalam perjalanan ini? Dan bagaimana kita bisa menghadapinya tanpa merusak hubungan? Nah, simak baik-baik beberapa tantangan yang wajib kamu antisipasi. Agar perjalanan co-parenting tidak hanya berjalan lancar, tapi juga menjaga hubungan tetap sehat dan produktif.

1. Perbedaan pendapat tentang pola asuh

Ilustrasi mengobrol (Pexels.com/Edmond Dantès)

Salah satu tantangan terbesar dalam co-parenting adalah perbedaan pendapat tentang bagaimana anak harus dibesarkan. Mungkin kamu dan pasangan sudah memiliki cara pengasuhan yang berbeda selama bersama, dan hal ini bisa semakin menjadi masalah setelah berpisah. Mulai dari cara mendisiplinkan anak, memberi pendidikan, hingga aturan tentang screen time—semuanya bisa menjadi sumber gesekan.

Namun, perbedaan ini bukan berarti kamu harus saling menuntut atau merasa superior dengan cara masing-masing. Sebaliknya, penting untuk membangun komunikasi yang terbuka dan jujur. Cobalah untuk mencari titik temu atau kompromi yang bisa diterima kedua pihak demi kebaikan anak. Ingat, co-parenting bukan soal siapa yang lebih benar, tapi bagaimana kita bisa saling mendukung dalam pengasuhan yang sehat.

2. Mengelola emosi dan ego

Ilustrasi seorang pria dan seorang wanita (Pexels.com/Yan Krukau)

Hubungan setelah perpisahan seringkali dipenuhi dengan emosi yang belum terselesaikan. Entah itu rasa sakit hati, kekecewaan, atau bahkan kebencian yang masih ada. Ketika kamu dan pasangan dipaksa untuk berkomunikasi demi anak, terkadang emosi ini bisa mengganggu dan mempengaruhi keputusan-keputusan penting. Misalnya, keputusan tentang jadwal kunjungan atau pembagian waktu liburan yang bisa memicu ketegangan.

Untuk itu, kita perlu belajar untuk menurunkan ego dan mengelola emosi dengan lebih bijak. Jangan biarkan perasaan pribadi mengganggu keputusan yang berhubungan dengan anak. Fokuslah pada kebutuhan anak dan bagaimana kamu berdua bisa bekerja sama demi kesejahteraan mereka. Ini mungkin terasa sulit pada awalnya, namun semakin lama kamu bisa melakukannya, semakin baik juga hasilnya untuk hubungan kalian ke depannya.

3. Keterbatasan waktu dan energi

Ilustrasi seorang ibu dan dua orang anak (Pexels.com/Ketut Subiyanto)

Menjalani kehidupan pasca-perpisahan dengan anak tentu membutuhkan lebih banyak waktu dan energi. Kamu mungkin merasa kewalahan dengan jadwal yang padat antara bekerja, mengurus anak, dan urusan pribadi lainnya. Ketika harus berbagi tanggung jawab dengan mantan pasangan, tantangan waktu sering kali muncul, seperti perbedaan jadwal kerja atau ketidakseimbangan dalam pengasuhan yang bisa membuat satu pihak merasa terbebani.

Untuk menghadapinya, penting untuk merencanakan segalanya dengan lebih terstruktur dan realistis. Komunikasi yang jelas dan terbuka tentang waktu yang tersedia serta kesediaan untuk saling membantu bisa meringankan beban. Jangan ragu untuk meminta bantuan jika kamu merasa kesulitan. Dengan kerjasama yang baik, kamu bisa membagi tugas tanpa merasa kelelahan atau terjebak dalam stres.

4. Masalah keuangan yang tidak terselesaikan

Ilustrasi stres keuangan (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Setelah berpisah, masalah keuangan sering kali menjadi titik rawan dalam co-parenting. Perbedaan pandangan mengenai biaya pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan anak lainnya bisa menimbulkan ketegangan. Salah satu pihak mungkin merasa kewalahan dengan pembagian yang tidak adil, atau ada yang merasa tidak diberi kesempatan untuk berkontribusi dengan cara yang mereka anggap pantas.

Penting untuk duduk bersama dan membahas secara terbuka masalah keuangan ini. Buatlah kesepakatan yang jelas tentang kontribusi masing-masing dan pastikan kedua pihak merasa dihargai. Jika perlu, libatkan pihak ketiga seperti mediator profesional agar segala sesuatunya lebih transparan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dengan komunikasi yang baik, masalah keuangan bukan hal yang harus merusak hubungan co-parenting.

5. Menjaga stabilitas emosional anak

Ilustrasi seorang ayah dan seorang anak perempuan (Pexels.com/Pavel Danilyuk)

Ketika orang tua berpisah, anak sering kali menjadi pihak yang paling terdampak secara emosional. Salah satu tantangan dalam co-parenting adalah bagaimana menjaga agar anak tetap merasa aman, dicintai, dan stabil meskipun mereka harus hidup dalam dua rumah yang berbeda. Perubahan dalam rutinitas dan ketidakpastian bisa membuat anak merasa bingung atau tertekan.

Sebagai orang tua, kita harus bisa menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan emosional anak. Ini bisa dimulai dengan komunikasi yang jelas dengan anak tentang situasi yang ada, serta memastikan mereka merasa didukung oleh kedua orang tua. Cobalah untuk selalu berfokus pada kebahagiaan dan kesejahteraan mereka, tanpa membiarkan konflik orang tua merusak rasa aman yang mereka butuhkan.

Co-parenting memang penuh tantangan, namun dengan niat yang baik dan komunikasi yang kuat, kita bisa menghadapinya dengan bijaksana. Ingatlah bahwa keberhasilan dalam pengasuhan anak bukan hanya tentang siapa yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka, tapi tentang bagaimana kalian berdua bisa memberikan yang terbaik untuk masa depan mereka. Jadi, mari terus berusaha, belajar, dan beradaptasi untuk menjadikan perjalanan ini sebagai pengalaman yang memperkaya, bukan menghancurkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team