ilustrasi perempuan merenung (unsplash.com/@joshrh19)
Ada beberapa hal yang sering keluar dari mulut orang-orang yang tumbuh dan tinggal di lingkungan penuh red flags dalam keluarga disfungsional:
"Kenapa dulu nggak sadar ya kalau dimanfaatkan? Bodoh banget."
"Aku nggak pernah langgeng kalau pacaran. Aku selalu mengusahakan kebahagiaan mereka, tapi tetep aja aku ditinggalin."
"Aku juga pengin pacaran, tapi kenapa rasanya susah banget dan kadang malah nyakitin?"
Red flags seperti ini nggak akan terlihat seperti sesuatu yang perlu dihindari ketika memang itu adalah tempat kita tinggal dan sering temui sehari-hari. Kadang, apa yang terasa familiar begitu nggak sehat. Justru karena itu familiar, kita menganggapnya bukan masalah karena terasa 'normal' bagi kita.
Sering kali, apa yang terungkap berkaitan dengan trauma emosional masa kecil yang belum sembuh yang membuat mereka tetap berada dalam hubungan yang sama dengan yang mereka alami di rumah, seperti yang disarankan oleh penelitian dalam Annals of General Psychiatry. Dan hubungan tersebut bersifat kasar dalam beberapa hal, dengan dinamika yang nggak sehat dan perilaku yang menyakitkan, baik secara nggak langsung maupun yang terlihat jelas.
'Normal' adalah sebuah tantangan bagi orang yang memang nggak tumbuh di dalamnya. Tapi ketika kita berusaha untuk menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan keluarga tempat kita tumbuh, kita akan mulai menyadari betapa tindakan seseorang, yang pada saat itu kita terima, begitu membuat kekacauan dalam hidup kita saat ini.
Dengan menyadari betapa tidak sehatnya pola dan perilaku komunikasi dapat terlihat normal ketika itu adalah aturan yang memang kita pelajari, kita bisa memperbaiki dinamika hubungan keluarga dengan lebih baik lagi. Mungkin nggak dengan anggota keluargamu yang bikin kamu trauma, tapi paling nggak sama orang lain yang nggak ada sangkut pautnya dan nggak ada salah sama kamu.