Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi siswa siswi di lapangan  (pexels.com/vietfotos)
ilustrasi siswa siswi di lapangan (pexels.com/vietfotos)

Drama pertemanan bisa muncul sejak anak mulai berinteraksi dengan teman sebaya, bahkan pada usia balita. Orangtua dan pengasuh memiliki peran penting untuk membantu anak mengembangkan keterampilan sosial yang sehat.

Dengan pendekatan yang tepat, anak bisa belajar mengelola konflik dan membangun hubungan positif yang bertahan hingga dewasa. Yuk, ketahui cara bantu anak hadapi drama pertemanan sejak dini lewat artikel berikut!

1. Mulai dengan pembelajaran sosial sejak balita

ilustrasi anak kecil makan bersama (pexels.com/naomishi)

Pembelajaran keterampilan sosial bisa dimulai sejak anak masih balita. Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan kemampuan sosial yang baik lebih bahagia dalam hubungan masa depan, tetap semangat sekolah, dan lebih sehat secara emosional. Orangtua bisa menggunakan waktu bermain untuk mengajarkan anak tentang berbagi, bergiliran, dan mengekspresikan empati.

 “Saranmu sebaiknya sangat berfokus pada keterampilan, di mana kamu benar-benar memberitahu kata-kata apa yang harus digunakan,” kata Mitch Prinstein, PhD, chief science officer di American Psychological Association, dilansir APA.

Misalnya, jika anak ingin bermain dengan boneka, orangtua bisa menyarankan juga membaca buku bersama agar anak belajar fleksibilitas. Strategi ini membekali anak dengan alat psikologis dasar untuk menghadapi perbedaan dan konflik dengan teman sebaya.

2. Ajarkan empati dan kebaikan sejak dini

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/nasirunkhan)

Anak usia dini cenderung fokus pada diri sendiri, jadi ini waktu tepat untuk mulai mengajarkan mereka memikirkan orang lain. Orangtua bisa menanyakan apa yang dilakukan anak untuk membuat teman lain merasa senang atau terlibat dalam permainan. Cara ini membantu anak memahami dampak tindakannya terhadap orang lain dan menumbuhkan empati.

Dorong anak melihat situasi dari perspektif teman sebaya. Misalnya, jika seorang teman duduk sendirian, sarankan anak bertanya apakah mereka ingin ikut bermain. Latihan sederhana seperti ini membuat anak lebih siap menghadapi drama pertemanan saat berinteraksi dengan kelompok lebih besar.

3. Bimbing anak menghadapi tekanan sosial di sekolah dasar

ilustrasi para siswa bermain laptop (pexels.com/panditwiguna)

Saat anak memasuki TK atau SD awal, interaksi dengan teman sebaya mulai lebih kompleks. Anak perlu belajar memilih teman, menyelesaikan konflik, dan tetap mempertahankan integritas diri saat menghadapi tekanan kelompok. Diskusikan kualitas pertemanan yang sehat, seperti saling percaya, loyalitas, dan kemampuan saling membantu.

Dorong anak mengembangkan keterampilan komunikasi dan resolusi masalah. Misalnya, ajarkan cara menyampaikan perasaan tanpa menyakiti teman, serta mendengarkan perspektif orang lain. Pendekatan ini menyiapkan anak agar dapat menghadapi drama pertemanan dengan percaya diri dan bijak.

4. Dukung kepercayaan diri dan kemandirian saat SMP

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/roman-odintsov)

Memasuki usia SMP, anak mulai menghadapi pertemanan satu lawan satu dan tekanan kelompok yang lebih besar. Banyak anak mengalami konflik atau bullying sebaya, sehingga penting untuk menekankan bahwa ini biasanya bukan kesalahan mereka.

“Sebagian besar anak akan mengalami bullying sebaya pada usia ini. Penting mengajarkan bahwa ini biasanya bukan karena kesalahan mereka, tapi karena kesulitan pelaku bullying mengendalikan perasaan dan membangun teman dengan cara lebih sehat,” kata Prinstein.

Orangtua sebaiknya membimbing anak membuat keputusan sendiri terkait hubungan teman, sambil tetap memberi dukungan. Anak yang percaya diri lebih mampu mengelola konflik sosial dan menavigasi drama pertemanan. Kemandirian ini juga menjadi dasar keterampilan sosial yang akan berguna hingga dewasa.

5. Bantu remaja memahami identitas dan tekanan teman sebaya

ilustrasi siswa siswi melingkar di lapangan (pexels.com/mirrographer)

Remaja menghadapi hubungan yang lebih kompleks, termasuk persahabatan mendalam dan tekanan dari teman sebaya. Penting untuk menormalkan rasa cemas mereka dan mengingatkan bahwa orang lain juga mengalami kekhawatiran serupa. Dorong remaja untuk tetap menghargai identitas diri dan tidak tertekan oleh keinginan teman.

“Penelitian menunjukkan anak pada akhirnya menciptakan nilai di tengah-tengah antara apa yang teman mereka inginkan dan apa yang orangtua inginkan,” kata Prinstein.

Orangtua bisa sedikit memengaruhi, tapi fokus utama adalah mengajarkan remaja membuat keputusan sendiri. Dengan begitu, mereka belajar menghadapi drama pertemanan dengan empati, kebijaksanaan, dan kemandirian.

Ajarkan anak berbagi, empati, dan cara menyelesaikan konflik sejak dini. Keterampilan ini bikin mereka lebih percaya diri menghadapi drama pertemanan. Mulai sekarang, bantu mereka tumbuh jadi teman yang asyik dan dewasa secara emosional!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team