#MahakaryaAyahIbu: Apa yang Bisa Kulakukan untuk Kebahagiaanmu di Masa Tua, Ayah?

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik.
Aku berdiri menatap rumah bercat hijau itu, menggendong tas ransel bututku. Setahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah ini, mencari peruntungan di tempat baru. Ayah berdiri di depan pintu, tersenyum menyambut kedatanganku. Sejak mamakku meninggal tiga tahun yang lalu, ia tinggal sendirian di rumah ini. Ayah membelai lembut rambutku, aku tersenyum, menatap wajahnya yang mulai mengeriput, rambutnya yang semakin memutih.
Aku mengamati setiap sudut-sudut rumah dengan seksama Tidak hanya ayah, rumah kesayangan kami pun tampak menua. Butiran-butiran halus sering berjatuhan dari keroposnya perabotan. Beberapa bagian dari lantai dan dinding yang tercetak retakan-retakan, juga tetesan air dari atap yang bocor. Terbayang kembali dalam benakku, ketika aku masih kanak-kanak, dengan kaki mungilku berlari kesana kemari di dalam sebuah kontrakan sederhana. Ruang tamu berukuran 4 x 6 dengan dua buah sofa dan satu meja kayu. Adengan seperti dalam film hitam putih, ibuku sedang menjahit sementara ayahku menatapku yang sedang mengganti baju bonekaku.
Terbersit di benak ayah dan ibuku, mengenai perjalanan masa depanku. Bagaimana kesejahteraanku nantinya kalau kami masih mengontrak? Kata ayahku dalam hati. Demi jaminan dan masa depan tenang tanpa harus memikirkan biaya sewa bulanan, sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan uang, menabung rupiah demi rupiah, bekerja kesana kemari, menjual ini itu, membeli tanah, dan peralatan bangunan, menyewa kuli bangunan. Membangun bata demi bata rumah impian kami, yang diharapkan akan menjadi saksi tumbuh kembangku nanti.
Rumah, tempat tawa, tangis, dan cinta berada. Rumah, yang akan selalu dirindukan untuk kembali pulang. Aku memandangi ayah yang sedang tertidur di atas kursi, menghadap ke tv yang menyala. Kini giliranku memikirkan kebahagiaan ayah. Tercipta suatu tekad yang harus kuwujudkan, menciptakan hunian yang indah dan kokoh tak tertandingi untuk menemani ayah menikmati masa masa tuanya. Mahakarya yang akan kuciptakan sebagai balasanku atas cinta kasihnya.
Aku menandai bagian-bagian yang harus kuperbaiki. Perbaikan pada dinding yang mulai rapuh, lantai yang telah retak, atap yang bocor, cat yang mengelupas. Aku kembali ke tanah perantauan, dengan semangat mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk mempersembahkan mahakarya bagi malaikatku. Bayangan ayahku sedang duduk di atas kursi goyang, didepan perapian, menikmati secangkir teh sambil berbicara dengan anaknya di telepon, tertawa lepas. Foto anak-anaknya dipajang di meja. Saat ia telah berada di rumah yang telah direnovasi, dengan kenyamanan, kehangatan, dan tentunya, cinta.